Minggu, 15 Maret 2015

al-Maghazi

POSTED By:  SITI ZAENAB                                                                          
Senin, 16 Maret 2015


Corak-corak Penulisan Sejarah Masa Awal Islam: al-Maghazi

A.      Pengertian Al-Maghazi
Penulisan sejarah Islam berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan peradaban Islam. Pada mulanya umat Islam, karena keperluan agama, meriwayatkan hadits-hadits Nabi, termasuk perang-perang Nabi dan para sahabat yang berpatisipasi di dalamnya.[1]
Al-Maghazi berasal dari kata ghazwah (ekspedisi militer) yang dari sudut pandang sejarah berarti perang dan penyerangan militer yang dilakukan Nabi Muhammad. Belakangan, makna kata ini sering diperluas untuk mencakup seluruh misi kerasulannya.[2]
Redaksi lain mengartikan al-Maghazi adalah Pasukan atau peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Dalam hal ghazwah pun tidak mesti terjadinya perang atau kontak senjata, asal ada gerakan pasukan yang dipimpin Nabi dinamakan ghazwah juga misalnya:
1.      Patroli keamanan keempat menjelang perang Badar, pasukan muslim dipimpin langsung oleh Rasulullah. Dalam patroli itu tidak berjumpa dengan musuh. Ghazwah pulang dengan selamat.
2.      Ketika terjadi serangan kafir Quraisy pimpinan Kuraiz bin Jabir al-Fahri terhadap tepi kota Madinah yang tidak terjaga, maka Rasulullah langsung memimpin ghazwah untuk mengejarnya. Pasukan musuh menghilang dan tidak diketahui lagi jejaknya di lembah Badar sehingga ghazwah Nabi kembali tanpa hasil.
3.      Kalau dikatakan Ghazwah Badar, itu berarti terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan musuh, yang ketika itu pasukan Muslim dipimpin langsung oleh Nabi SAW.[3]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Maghazi adalah gerakan senjata yang dipimpin Rasulullah yang mencakup perang dan penyerangan militer yang dipimpin Rasulullah untuk mempertahankan diri. Dikatakan mempertahankan diri di sini, dikarnakan perang (ghazwah) yang dipimpin Rasulullah ini bukan untuk menindas atau menghancurkan peradaban daerah yang di perangi.
Sayyid Quthb berkata,”Islam menjauhkan segala bentuk peperangan yang didasari oleh motif rasa tamak, tendesi materi, eksploitasi kekayaan alam, penjajahan,  menguasai pasar, pembudakan. Di samping itu Islam juga menghindari peperangan yang didasari oleh motif keuntungan pribadi-pribadi tertentu. Tidak ada tempat dalam Islam untuk bentuk-bentuk peperangan di atas. Islam selalu mengajak kerja sama yang menghasilkan kebaikan dan ketakwaan, bukan dosa dan permusuhan.”[4]

B.       Perkembangan Al-Maghazi
Maghazi merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan kehidupan Nabi, yang dilakukan beberapa sahabat terkemuka. Mereka mengumpulkan hadits historis yang beredar pada masa mereka. Koleksi mereka inilah yang kemudian menjadi data penting bagi tabi’un. Horovitz menyatakan, meski data hadits yang terekam di atas shaha’if (shuhuf) atau di dalam kitab tidak jelas nilainya, tetapi tidak ada keraguan bahwa catatan tertulis semacam itu bukan lagi merupakan barang langka di kalangan tabi’un, yang memperoleh pengetahuan dari para sahabat.
Mengingat uraian atas, tidak heran jika studi Maghazi muncul bebarengan dengan studi hadits. Muhadditsun menunjukkan minat mereka terhadap Maghazi, tetapi sebagian di antara mereka, ketika mengkaji riwayat kehidupan Nabi, mereka melakukannya dalam cara yang melampui batas aspek hukum. Jadi, para pioner studi Maghazi adalah muhadditsun, mereka dipandang sebagai pengarang Maghazi. Ini juga menjelaskan kenapa isnad menduduki peranan penting dalam mengukur nilai Maghazi. Ini berarti nilai hadits dan riwayat lain tergantung pada reputasi para muhadditsun atau perawi yang terdapat pada rangkaian isnad. Inilah yang mendorong timbulnya sikap kritis  terhadap riwayat perawi mereka yang meriwayatkan dan mentransmisikan informasi. Selanjutnya, ini memperkenalkan unsur penyelidikan dan penelitian atas berbagai riwayat dan dengan demikian meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi studi sejarah kritis.[5]
Dalam redaksi lain juga disebutkan bahwa Penulisan hadits itu dapat dikatakan sebagai cikal bakal penulisan sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi itu, para sejarawan segera memperluas cakupan sejarah. Pertama-pertama mereka mengembangkannya kepada riwayat-riwayat yang berkenaan dengan perang-perang Nabi yang disebut dengan al-Maghazi. Para penulisnya adalah para ahli hadits. Oleh karena itu, sebagaimana dalam penulisan hadits, mereka juga menggunakan isnad. Penulisan al-Maghazi ini melapangkan jalan bagi penulisan biografi Nabi yang biasa disebut al-Sirah. Para penulis sejarah seperti ini pertama-tama adalah putra-putra sahabat Nabi.[6]
Terhadap perkembangan penulisan sejarah islam sampai tahap ini, Husen Nashar menyimpulkan, bahwa penulisan sejarah Arab islam tumbuh dari dua arus yang berbeda:
1.         Arus lama, yang terdiri dari cerita-cerita khayal dan folklore, yang dipengaruhi oleh corak “sejarah” arab klasik yang disampaikan oleh narator-narator yang berpindah-pindah dari arab utara dalam bentuk al-Ansab dan al-Ayyam, dan cerita tentang raja-raja Arab selatan, serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya arus lama ini mengambil bentuk syair. Kisah-kisah ini tidak didasarkan atas penanggalan (kronologis) kejadian, antara satu peristiwa dengan peristiwa lain tidak ada hubungannya.
2.         Arus baru yang dimunculkan islam, yaitu arus biografi yang terdiri dari berita-berita autentik dan mendalam, cabang dari ilmu hadits, oleh karena itu melalui kritik dan seleksi, terdiri dari kisah-kisah yang benar dan kadang-kadang juga ada khayal yang terdapat dalam diri Rasul. Sejarawan mengumpulkan kisah-kisaah itu, menyusunnya, menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lain, dengan disinari oleh ayat-ayat al-Qaur’an.
Arus pertama, terutama al-Ayyam, telah memainkan peran terutama terhadap kehidupan Nabi di Madinah yang penuh dengan peperangan (ghazawat). Kisah tentang peperangan itu tersebar bagaikan tersebarnya al-Ayyam di masa sebelum Islam. Nabi digambarkaan sebagai pahlawan (al-Bathal) seperti yang biasa terdapat dalam al-Ayyam sebelum Islam itu. Adapun arus penulisan biografi terdapat di dalamnya corak ilmiah yang mendalam di Madinah, lebih di negri-negri lain, karena para sejarawan di sana terikat dengan hadits-hadits shahih lebih dari pada sejarawan lain.[7]
Akan tetapi perlu diingat bahwa terdapat perbedaan antara al-Ayyam dan al-Maghazi yaitu seperti yang dijelaskan dalam buku Early Muslim Historiography sebagai berikut:
The institution of the ayyam narrative had a deep impact on the Arab tribal society which remained alive and intact till much after the advent of islam. The maghazi narratives clearly indicate the influence of the ayyam: fristly, in the use of poetry secondly, in their hyperbolic style and lastly, in the presentation of minute details of war. Although this style helped crystallize the background of the Islamic traditions, yet the maghazi narratives distinctly differ from those of the ayyam in respect of the following characteristics:
  1. Transmitters of the maghazi were the Companions of the propet, and the biographical accounts of the most of them are available to us while the transmitters of the ayyam tales are nonentities.
  2. The maghazi narratives present a chronological sequence of expedition, launches by propet while the ayyam absolutely lack in datesor cronology.
  3. As for the historical value of the magazi and the ayyam narrative, we can derivevaluable hints of historicalsignificance out of the magazi after eliminating the poetry and the exaggerative style. But, in the ayyam narratives there is very scant and undependable matterial from historigraphical es point view.
  4. The ayyam tales have no authority-chains while the magazi narratives have been transmitted on the puttern of the hadits and are generally supported by chains of authority
  5. The purpose behind the ayyam tales was to glorify the deeds of a tribe and to create sense of pride among its members. This hardly requires any authentication or attestation. But, the magazi narratives, in addition to the above purpose and quality , also carried a sense of historical literature. Hence, the status of the magazi-reporter was more important than that of the ayyam-narrator or themert story-teller.
  6. The ayyam narratives are the prejudicated version which glorify only the tribe to which they belong. Hence their statements are not free from exaggertion, tribal partisanism and favouritism.[8]
Yang artinya yaitu:
Adat kebiasaan narasi Ayyam memiliki dampak yang mendalam pada masyarakat suku Arab yang tetap hidup dan utuh sampai jauh setelah munculnya islam. Narasi Maghazi jelas menunjukkan pengaruh Ayyam tersebut, Pertama, dalam penggunaan puisi. Kedua, dalam gaya hiperbolik mereka dan Terakhir, dalam penyajian rincian menit perang. Meskipun gaya ini memperjelas latar belakang tradisi Islam, namun narasi Magazi jelas berbeda dari Ayyam, sehubungan dengan hal itu karakteristiknya adalah sebagai berikut:
  1. Yang menyebarkan Magazi adalah para sahabat nabi, dan sebagian besar catatan biografi dari mereka ada hingga sampai pada kita, sementara orang yang menyebarkan dongeng Ayyam adalah terlupakan.
  2. Narasi Maghazi menyajikan kronologis Urutan Ghazwah, yang dilakukan oleh Nabi, sementara Ayyam sama sekali kurang dalam hal tanggal atau kronologi.
  3. Adapun nilai historis dari Magazi dan narasi Ayyam, kita dapat memperoleh petunjuk berharga signifikansi historis dari Magazi setelah menghilangkan puisi dan gaya yang berlebih-lebihan. Namun, dalam narasi Ayyam sangat sedikit dan materinya kurang dipercaya dari sudut pandang historiografi.
  4. Cerita Ayyam tidak memiliki rantai otoritas, sementara narasi Magazi telah ditransmisikan pada pola hadits dan umumnya didukung oleh rantai otoritas
  5. Tujuan di balik cerita Ayyam adalah untuk memuliakan perbuatan suku dan untuk menciptakan rasa bangga di antara para anggotanya. Ini hampir tidak memerlukan setiap otentikasi atau pengesahan. Namun, narasi Magazi, selain tujuan di atas dan kualitas, juga membawa rasa literatur sejarah. Oleh karena itu, status orang yang menulis Maghazi itu lebih penting daripada orang yang bercerita tentang Ayyam atau hanya orang yang bercerita.
  6. Narasi Ayyam adalah versi berprasangka untuk memuliakan hanya dari suku mana mereka berasal. Oleh karena itu pernyataan mereka tidak lepas dari berlebihan, partisanism suku dan pilih kasih.

C.      Tokoh-Tokoh Penulis Al-Maghazi
Para tokoh Islam yang menulis Maghazi adalah:
1.      Aban Ibn Utsman Ibn ‘Affan (105 H/723 M)
Ia dapat disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkaji al-Maghazi.[9] Dialah orang pertama yang menyusun kumpulan khusus tentang al-Maghazi. Dia juga dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadits dan kajian al-Maghazi.[10]
Aban mempunyai reputasi sebagai Muhadditsun dan Faqih yang diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Abd Al-Malik ibn Marwan. Aban menuliskan sebuah kumpulan hadits khusus berkenaan dengan Maghazi.[11]

2.      Urwah Ibn Zubair
Penanganan lebih lengkap atas Maghazi yang dilakukan Urwah ibn Al-Zubair (L. 23/643, w 94/712). Ia adalah orang pertama yang menulis kitab lebih baik tentang Maghazi, dan karenanya ia sering dipandang sebagai pendiri studi Maghazi. Sayang, karyanya ini hanya tinggal dalam bentuk kutipan pada karya para sejarawan semacam al-Thabari, Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Ibn Sayyid An-Nas dan Ibn Katsir. Kutipan-kutipan mereka merupakan tulisan paling awal tentang Maghazi yang sampai ke tangan kita.[12]
Ia adalah seorang ahli Hadits dan Fiqh. Sama dengan Aban, Urwah juga mencantumkan isnad dalam peristiwa-peristiwa penting, seperti turunnya wahyu dan hijrah. Tulisannya sederhana, jauh dari khayal. Apa yang dipaparkannya bersifat faktual dan tidak berlebih-lebihan. Dia meriwayatkannya dari sumber pertama seperti Aisyah dan anggota keluarga Zubair. Dia juga memperluas bidang kajian sejarah sehingga meliputi masa al-Khalafa ar-Rasyidin. Tulisan-tulisannya meliputi peristiwa perang Riddah pada masa khalifah Abu  Bakar dan perang Qadisiyah pada masa khalifah Umar Bin Khattab.[13]
Maghazi karya Urwah jelas tidak terbatas pada pengertian sempit kata ini. Kutipan Maghazi karya Urwah itu mencakup berbagai aspek kehidupan Nabi, seperti  permulaan Nabi menerima wahyu al-Qur’an, beberapa serangan dan perang yang dilakukan Nabi dan sejumlah masalah pribadi Nabi SAW. Dalam periwayatannya, Urwah tidak mengungkapkan secara terinci pertarungan bersenjata yang terjadi dalam Ghazwah Nabi SAW. Urwah yang aktif berceramah ini menuliskan sebagian ceramahnya bahkan sebagian tulisannya tentang sejarah mencakup jawaban tertulis atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh istana Dinasti Umayyah.
Urwah sangat terpandang sebagai ahli dalam hadits, ia adalah salah seorang “Tujuh Fukhaha” terkemuka di Madinah.  Hubungannya dengan tokoh-tokoh terpandang di masa awal Islam menempatkannya pada posisi untuk mendapatkan dari tangan pertama banyak riwayat tentang hari-hari pertama Islam. Karena itu, ia meriwayatkan banyak hadits dan dalam literatur Sirah. Dari fragmen-fragmen Maghazi-nya yang sampai ke tangan kita, jelas bahwa Urwah mendasarkan karyanya ini pada hadits historis yang dikumpulkannya sendiri. Sirah tertua yang kita miliki, karya penulis lebih belakangan dari Urwah mengambil banyak bahan dari Maghazi Urwah.
Dalam beberapa riwayatnya Urwah menggunakan isnad, tetapi pada sebagian yang lain ia tidak menggunaknnya sama sekali. Dalam hal terakhir kelihatannya Urwah menggabungkan sejumlah hadits ke dalam narasi tunggal berkesinambungan. Kasus tidak digunakannya isnad oleh Urwah tak harus mengherankan, karena pada masa Urwah (ia termasuk tabi’un paling awal) ketentuan tentang isnad belum sepenuhnya baku. Pada masa ini dipandang cukup kuat mengambil riwayat langsung dari tabi’un.[14]

3.      Wahab ibn Munabih (110 H/728 M)
Ia adalah seseorang yang berasal dari keluarga Persia yang menetap di Yaman sejak masa sebelum Islam. Dia mengetahui berita-berita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) melalui orang-orang Yaman. Dia juga mampu membaca tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat dibaca para pendeta pada waktu itu. Karyanya berjudul kitab al-Mubtada dan kitab al-Muluk al-Mutawwajah min Himyar wa Akhbaruhum wa Ghair Dzalik. Akan tetapi, tulisan-tulisannya berbeda dari tulisan-tulisan penulis al-Maghazi yang tersebut terdahulu. Tulisannya tidak menggunakan isnad dan langgam bahasanya juga berbeda. Kitabnya juga memuat khayal dan dongeng. Dia juga sangat memperhatikan Israiliyyat (berita-berita Yahudi dan Nashrani) dan dongeng-dongeng masa silam. Karena banyaknya unsur dongeng di dalam karyanya, maka sebagian ilmuan sekarang tidak menganggapnya sebagai sejarawan tetapi lebih sebagai seorang sastrawan.[15]
Horovits menyatakan, Wahb secara umum diakui sebagai perawi hadits yang terpercaya (tsiqah), meski ia tidak menggunakan isnad, dan bahkan memakai sumber-sumber Yahudi dan Nasrani dalam Maghazinya yang berjudul kitab Al-Mubtada’. Tetapi Abbot dan Duri menyanggah penilaian Horovitz. Keduanya menilai, Wahb ibn Munabih bukanlah penulis terpercaya dan cermat dan karena itu, laporan-laporannya tidak bernilai bagi sejarawan yang serius. Ia tak lebih sekedar tukang cerita. Abbot dan Duri berhujjah, Wahb tidak bisa dipercaya karena ia dengan seenaknya bersandar pada cerita Perjanjian lama dan Isra’iliyyat, serta pada imajinasinya. Tetapi beberapa Historiografer lebih belakangan ini, seperti Ibn Ishaq, Ibn Qutayah, dan Al-Thabari mengutip banyak bagian karya Wahb tanpa memeriksa reliabilitasnya.[16]

4.      Syurahbil ibn Sa’ad (123 H)
Disamping dikenal sebagai perawi hadits, ia juga dikenal sebagai sejarawan muslim generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-Sirah dan al-Maghazi. Dia dianggap sebagai orang yang tahu tentang perang-perang Nabi SAW (al-Maghazi), orang-orang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah bersama Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang terlibat dalam Perang Badar dan Perang Uhud.[17]
Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123/741) seorang mawla dari Bani Khatmah, dan Wahb ibn Munabbih (w. 110/728), keturunan persia yang menetap di Yaman. Kedua tabi’un ini dipandang tidak terpercaya. Padahal Syurahbil sebenarnya termasuk ahli dalam hal Maghazi, tetapi orang mencurigainya sebagai suka menonjolkan pihak tertentu yang sebenarnya tidak berperan banyak dalam sejarah Islam. Terdapat juga penilaian, hadits yang diriwayatkan Syurahbil tidak disenangi.[18]

5.         Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm
Ia adalah seorang Qhadi di Madinah dan perawi hadits yang berminat khusus pada Maghazi. Ia mewariskan kitab Al-Maghazi pada kemenakannya Abd Al-Malik ibn Muhammad SAW (w. 176/792). Sayang sekali kitab ini tidak atau belum ditemukan, selain kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Dari kutipan itu terlihat karya Abdullah tidak terbatas pada pengertian sempit Maghazi, karena ia juga mengungkapkan masa remaja Nabi Muhammad SAW. Ia meriwayatkan pula laporan tentang pemberontakan beberapa kabilah Arab setelah meninggalnya Nabi dan juga tentang berbagai peristiwa dalam dasawarsa berikutnya. Menurut Al-Thabari, ia merupakan orang pertama yang menetapkan urutan kronologis peristiwa-peristiwa di masa Nabi SAW, ia juga menyusun daftar perang yang dilakukan Nabi SAW dalam urutan kronologis, yang selanjutnya dipinjam Ibn Ishaq di dalam karyanya. Abdullah sangat memperhatikan khusus pada sumber-sumber yang digunakannya. Ia juga memberikan perhatian khusus pada sumber-sumber tertulis, seperti surat Nabi SAW kepada seorang Pangeran Arabia Selatan dan dokumen yang diberikan Nabi SAW kepada kakeknya Amr ibn Hazm untuk dibawanya ke Najran ketika ia diperintahkan Nabi SAW menyebarkan Islam di sana.
Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm, Ashim ibn Umar ibn Qatadah dan Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Al-Zuhri. Ketiga tokoh ini termasuk ke dalam kelompok muhadditsun yang memberikan perhatian khusus pada studi Maghazi. Bertanggung jawab atas peningkatan dan perluasan studi Maghazi. Karya-karya mereka dengan mantap mengukuhkan kerangka bagi penulisan Maghazi, materi yang mereka gunakan menjadi bahan penting yang digunakan Ibn Ishaq dan kemudian oleh Al-Waqidi.[19]

6.         Ashim ibn Umar ibn Qatadah al-Zhafari (120 H/737 M)
Ia adalah seorang tokoh sejarah aliran Madinah yang memiliki pengetahuan luas tentang al-Maghazi dan al-Sirah. Demikian luasnya pengetahuannya dalam hal tersebut, sampai-sampai Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah Bani Umayyah memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Masjid Damaskus dimana dia memberikan kuliah tentang al-Maghazi dan riwayat hidup para sahabat.[20]
Ashim ibn Umar ibn Qatadah adalah perawi hadits yang terpercaya. Kakeknya, Qatadah termasuk orang Madinah yang pertama menerima Islam. Ashim pernah ditugaskan oleh Khalifah Umar II (ibn Abd Al-Aziz) menyampaikan kepada kaum muslim, khususnya di Damaskus, riwayat perang yang dilakukan Nabi SAW dan amal mulia para sahabat. Ashim merupakan salah satu sumber utama Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Ia juga mengungkapkan riwayat terinci tentang masa muda dan kehidupan Nabi di Madinah. Ia sering menyebutkan isnad-nya, tetapi tak jarang pula tidak menyebutkannya sama sekali. Sikapnya pada isnad sama dengan sikap Abdullah ibn Abu Bakar. Ashim sering pula memasukkan pernyataan aktor-aktor utama dalam riwayat yang disampaikannya, ia tidak berlaku sebagai sekedar pengumpul riwayat, tetapi juga menyatakan pendapat dan penilaiannya sendiri atas berbagai peristiwa.[21] 

7.      Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (124 H/741M)
Al-Zuhri dari Bani Quraisy kabilah Zuhrah. Yang atas permintaan Umar ibn Abdul Aziz melakukan pengumpulan hadits yang menurut riwayat pengumpulannya itu disimpan di kamar istana. Dialah ulama hadits yang mula-mula sekali mengumpulkan hadits.[22]
Di dalam perpustakaan Bani Umayyah di Damaskus terdapat bertumpuk-tumpuk buku berjilid yang berisi bahan-bahan ilmiah yang dikumpulkannya. Terdapat langkah baru yang muncul di tangan al-Zuhri dalam penulisan sejarah. Dia menggabungkan riwayat-riwayat dan hadits-hadits dalam satu topik. Dia juga menulis biografi (sirah) Nabi Muhammad.[23]

8.      Musa ibn Uqbah (141 H/758 M)
Ia adalah murid al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang menguasai banyak ilmu keagamaan Islam, tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-Maghazi. Imam Malik ibn Anas berkata:”Kalau ingin menimba ilmu tentang al-Maghazi,maka timbalah dari Musa ibn Uqbah, karena al-Maghazi yang paling shahih (pada masa itu) adalah al-Maghazinya Musa ibn Uqbah.[24]

D.      Hadits-hadits tentang Ghazwah Rasulullah SAW
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sumber-sumber Maghazi sebagian besar dari hadits, berikut ini merupakan beberapa hadits yang menceritakan tentang Ghazwah Rasulullah atau hal yang berkaitan dengan perang pada masa Nabi SAW:
1.        Etika Perang dalam Islam
وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ, عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ او سرية أَوْصَاهُ فى خاصته بِتَقْوَى اَللَّهِ, وَمَنْ مَعَهُ مِنْ اَلْمُسْلِمِينَ خَيْراً, ثُمَّ قَالَ: اُغْزُوا بِسْمِ اَللَّهِ, فِي سَبِيلِ اَللَّهِ, قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاَللَّهِ, اُغْزُوا, وَلَا تَغُلُّوا, وَلَا تَغْدِرُوا, وَلَا تُمَثِّلُوا, وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيداً, وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ, فَأَيَّتُهُنَّ ما أَجَابُوكَ إِلَيْهَا, فَاقْبَلْ مِنْهُمْ, وَكُفَّ عَنْهُمْ: ادْعُهُمْ إِلَى اَلْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى اَلتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اَلْمُهَاجِرِينَ, فَإِنْ أَبَوْا فَأَخْبَرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ اَلْمُسْلِمِينَ, وَلَا يَكُونُ لَهُمْ. فِي اَلْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ اَلْمُسْلِمِينَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْأَلْهُمْ اَلْجِزْيَةَ, فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ, فَإِنْ هم أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ. وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اَللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ, فَلَا تَفْعَلْ, وَلَكِنْ اِجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ; فَإِنَّكُمْ إِنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنَّ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اَللَّهِ,  فأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اَللَّهِ, فَلَا تَفْعَلْ, بَلْ عَلَى حُكْمِكَ; فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اَللَّهِ تعالى فِيهِمْ أَمْ لَا ) متفقٌ عليهِ .
“Dari Sulaiman Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dia berkata,”Saat Rasulullah SAW mengutus seorang panglima tentara atau pasukan, beliau memberi pesan khusus kepada panglima itu agar bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada pasukan yang bersamanya. Lalu beliau SAW bersabda : "Berperanglah kalian atas nama Allah SWT, di jalan Allah SWT, perangilah orang yang mengingkari Allah SWT. Berperanglah dan jangan mengambil ghanimah sebelum dibagikan. Jangan berkhianat dan jangan memutilasi musuh. Janganlah kalian membunuh anak-anak (yang belum baligh). Jika kamu bertemu musuhmu yang musyrik, ajaklah dia untuk mematuhi tiga hal. Jika mereka mematuhi salah satunya maka terimalah mereka dan jangan kalian menyerangnya; ajaklah mereka memeluk agama Islam. Jika mereka menerimanya maka terimalah mereka. Kemudian ajak mereka untuk berpindah dari wilayah mereka ke wilayah muhajirin. Jika mereka menolak, beritahu kepada mereka bahwa mereka akan diperlakukan seperti masyarakat Arab desa yang muslim lainnya, (dimana) mereka tidak memperoleh ghanimah dan fai’ kecuali jika mereka berjihad bersama muslim lainnya. Jika mereka menolak (berjihad) maka mintalah jizyah kepada mereka. Jika mereka mematuhinya maka terimalah. Jika mereka menolaknya (memberikan jizyah) maka mintalah bantuan kepada Allah SWT dan perangilah mereka. Jika kalian mengepung pasukan yang berada dalam sebuah benteng lalu mereka meminta kamu memuat suatu perjanjian atas nama Allah SWT dan Nabi-Nya maka jangan kamu lakukan itu. Tetapi buatlah perjanjian untuk mereka atas namamu. Sesungguhnya kalian mengkhianati perjanjian-perjanjian kalian lebih ringan daripada kalian menghianati perjanjian Allah SWT. Jika mereka meminta kamu memutuskan untuk mereka berdasarkan hukum Allah SWT maka jangan kamu lakukan, tetapi berdasarkan hukummu. Sesungguhnya kamu tidak tahu apakah (yang kamu putuskan) itu sesuai dengan hukum Allah SWT atau tidak”.(HR. Muslim).
Hadits ini dengan amat baik menggambarkan cara berjihad berdasarkan dari  sumbernya, yaitu Rasulullah SAW. Ia juga mengungkapkan  peperangan dalam Islam dilakukan secara adil menyadari nilai kemanusiaan dan kasih sayang serta bertujuan menciptakan kebaikan disamping ketegaskan dalam memegang sebuah perjanjian. Gambaran ini berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh para musuh Islam yang mengatakan bahwa Islam penuh dengan kekerasan dan karakter-karakter buruk lainnya. Pernyataan tersebut didasari oleh ketidaktahuan tentang Islam itu sendiri atau sekedar ikut-ikutan atau mungkin juga karena faktor permusuhan kebencian dan dendam.
Nabi SAW tidak pernah mengutus pimpinan pasukan (amir) kecuali memberi pesan kepadanya dan juga memberi pesan kepada pasukannya. Secara umum pesan itu berisi agar mereka mematuhi hukum etika dan fadhilah dalam perang mereka. Pesan yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah takwa kepada Allah SWT. Takwa meskipun sebuah kata pendek sudah mengandung seluruh kebaikan. Takwa adalah patuh kepada semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. beliau SAW berpesan kepada pimpinan pasukan agar bertakwa kepada Allah SWT dan bersikap baik dengan pasukan yang dipimpinannya. Tidak mengeksploitasi kekuasaan dan memanfaatkan kepatuhan bawahan untuk kepentingan pribadinya. Peraturan yang dibuat harus didasarkan kepada kemaslahatan umum dan kaum muslim.
Jangan memutilasi musuh dengan cara memotong tangan kaki telinganya atau mengeluarkan isi perutnya. Tindakan seperti hanya dilakukan oleh orang yang berperang dengan tujuan balas dendam bukan peperangan yang ingin mewujudkan kebaikan. Dilarang membunuh anak-anak (yang belum mencapai usia baligh). Perang dalam Islam bukan penjajahan dan pembudakan namun menyerahkan kepada kaum muslim apa yang menjadi hak mereka dan mengambil dari kaum muslim apa saja yang bukan menjadi hak mereka. Jika mereka tidak mau memeluk agama Islam maka mereka dibaiarkan tetap dalam agamanya hanya saja dikenai pembayaran jizyah sebagai kompensasi atas perlindungan keselamatan harta serta untuk kepentingan maslahat mereka.
Jika mereka tidak mau membayar jizyah dan tetap menghalangi proses dakwah dengan cara menghalangi orang yang ingin mendengarkan dakwah Islam  maka kaum muslim terpaksa memeranginya agar dakwah dan agama dapat terus dikembangkan . jika kemudian terjadi pertempuran antara kaum muslim dengan para musuhnya maka peperangan itu adalah peperangan rahmat sebab orang yang tidak mempunyai kaitan dengan peperangan itu tidak akan diserang atau dibunuh. Karena itu tidak diperbolehkan membunuh orang tua renta, rahib atau pendeta yang berada dalam tempat ibadahnya anak kecil dan wanita. Perang dalam Islam juga tidak dapat disebut sebagai perang pemberontakan atau perang atas nama dendam yang diwujudkan dengan cara menyiksa pasukan musuh. [25]
2.        Ghazwah Fathul Mekkah
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِي رَمَضَانَ مِنَ الْمَدِيْنَةِ وَمَعَهُ عَشَرَةُ آلَافٍ, وَذَلِكَ عَلَى رَأْسِ ثَمَان سِنِيْنَ وَنِصْفٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِيْنَةَ, فَسَارَ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ اِلَى مَكَّةَ, يَصُومُ وَيَصُومُونَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيْدَ – وَهُوَ مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ – أَفْطَرَ وَأَفْطَرُوا. قَالَ الزُّهْرِيُّ: وَإِنَّمَا يُؤخَذُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّمَ الآخِرُ فَالآخِرُ.
Dari Az-Zuhri  dari Ubaidillah bin  Abdullah dari Ibnu Abas RA “Sesungguhnya Nabi SAW keluar pada bulan Ramadhan dari Madinah bersama 10.000 (personil). Kejadian itu berlangsung pada awal delapan setengah tahun sejak kedatangannnya di Madinah. Beliau berjalan bersama kaum muslimin menuju Mekkah. Beliau berpuasa dan merekapun berpuasa. Hingga ketika sampai di Al kadid yaitu sumber air yang terletak antara Usfan dan Qudaid beliau berbuka (tidak lagi berpuasa) dan mereka pun berbuka (tidak berpuasa).”Az-Zuhri berkata “Sesungguhnya perintah Nabi SAW yang diambil adalah yang paling akhir.”[26]
Perang al-Fath terjadi di bulan Ramadhan tahun ke 8 H. Ibnu Ishaq menambahkan dari Az-Zuhri melalui sanad ini bahwa Nabi SAW menunjuk Abu Ruhm al-Ghifari untuk menjadi pemimpin sementara di Madinah. Al-Waqidi menerangkan bahwa Nabi SAW keluar setelah berlalu 10 hari bulan Ramadhan tidak cukup berdasar untuk dijadikan pembanding riwayat yang lebih akurat. Dalam menetapkan waktu terjadinya peristiwa tersebut ada beberapa pendapat lain yaitu:
  1. Pada hari ke-16 bulan Ramadhan keterangan ini dinukilkan oleh Imam Muslim
  2. Pada hari ke-18 bulan Ramadhan sebagaimana dikutip Imam Ahmad
  3. Pada hari ke-12 bulan Ramadhan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad
Keterangan-keterangan ini mungkin digabungkan dengan memahami salah satunya untuk hari-hari yang tersisa dari bulan tersebut dan lainnya untuk hari-hari yang telah berlalu. Adapun keterangan didalam kitab Al-Maghazi “ beliau masuk setelah berlalu 19 hari bulan Ramadhan “ dipahami menurut perbedaan awal bulan. Sementara dalam riwayat lain ditemukan keraguan apakah pada hari ke-19 atau ke-17.
Ya’qub bin Sufyan meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari sejumlah gurunya bahwa pembebasan kota mekkah terjadi pada 10 hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. Bersamanya 10.000 (personil) maksudnya dari semua kabilah yang ada. Dalam riwayat Urwah secara mursal yang dikutip Ibnu Ishaq dan Ibnu A’idz disebutkan”kemudian Rasulullah SAW keluar membawa 12.000 daripada kaum Muhajirin, Anshar, Aslam, Ghifar, Muzainah, Juhainah dan Sulaiman. “ hal yang sama tercantum dalam kitab Al-Iklil dan Syarf Al-Musthafa. Kedua versi ini mungkin digabungkan bahwa 10.000 personil keluar bersama beliau dari Madinah dan 2.000 lagi bergabung saat dalam perjalanan. Hal ini akan dikelaskan pada riwayah Urwah yang sesudahnya secara mursal.[27]
3.        Strategi Perang Rasulullah
وعن كَعْبِ بن مالك – رضي الله عنه - أنَّ النّبيَّ صلى الله عليه وسلّم (كَانَ اِذَ أَرَادَ غَزْوَةً ,وَرَّى بِغَيْرِهَا) متفقٌ عليهِ
Dari Ka’ab bin Malik RA: bahwa ketika Nabi hendak berangkat berperang beliau SAW menyembunyikannya dengan hal lain. Muttafaqun ‘alaih
Hadits ini mengungkapkan sisi startegi berperang Rasulullah. Jika beliau SAW hendak menyerang suatu wilayah utara beliau membuat kesan seakan-akan hendak menyerang wilayah selatan. Secara terbuka beliau bertanya tentang jalan menuju selatan, kabilah-kabilah yang kemungkinan dijumpai dalam perjalanan ke sana sehingga terkesan ia hendak pergi wilayah tersebut. Tujuannya agar beliau SAW dan pasukannya dapat menyerang musuh secara tiba-tiba tanpa persiapan. Penyerangan tiba-tiba ini mempunyai dua keuntungan:
a.    Menekan jumlah korban antara kedua belah pihak. Dengan menghindari pertemuan langsung kedua pasukan maka kerugian dapat berkurang. Hal ini sesuai dengan prinsip perang beliau SAW bahwa suatu peperangan dilakukan dengan tujuan kebaikan. Cukup dengan membuat musuh menyerah. Kekerasan yang berhasil dihindari diganti kasih sayang termasuk kepada tawanan.
b.    Menyerang secara tiba-tiba juga dapat menghemat tenaga dan perlengkapan. Hal ini bermanfaat untuk bekal pertempuran lain dimana jika strategi di atas tidak dapat berjalan secara efektif.[28]





[1] Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), hal.30
[2] Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2002), Cet. I, hal. 29
[3] Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu: 1996), Cet. 1, hal. 47
[4] Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam, Buku Syarah Bulughul Maram, Jilid. 6, Terj. dari Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram oleh Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 431
[5] Azra, loc.cit.
[6] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 57
[7] Yatim, op.cit, h. 44
[8] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1979), hal. 42
[9] Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.30
[10] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 57
[11] Ibid, hal. 30
[12] Azra, op.cit, hal. 30
[13] Yatim, op.cit, hal. 43
[14] Azra, op.cit, hal. 31
[15] Badri Yatim, Historiografi Islam,.... h. 43
[16] Azra, op.cit, hal. 32
[17] Muin Umar, Pengantar Historiografi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),h. 13
[18] Azra, op.cit, hal. 32
[19]Azra, op.cit, hal.  32
[20] Umar, loc.cit.
[21] Azra, op.cit, hal. 33
[22] Umar, loc.cit.
[23] Yatim, op.cit,. 42
[24] Yatim, op.cit,. 42
[25] Al-Bassam, op.cit, hal. 424-431
[26] Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar As-Asqalani, Buku Fathul Baari, Jilid. 21, Terj. dari Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 10
[27]Ibid, hal. 14
[28] Al-Bassam, op.cit, hal. 433-432

Tidak ada komentar:

Posting Komentar