POSTED By: SITI ZAENAB
Senin, 16 Maret 2015
Senin, 16 Maret 2015
Corak-corak
Penulisan Sejarah Masa Awal Islam: al-Maghazi
A. Pengertian Al-Maghazi
Penulisan
sejarah Islam berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan peradaban
Islam. Pada mulanya umat Islam, karena keperluan agama, meriwayatkan
hadits-hadits Nabi, termasuk perang-perang Nabi dan para sahabat yang
berpatisipasi di dalamnya.[1]
Al-Maghazi
berasal dari kata ghazwah (ekspedisi militer) yang dari sudut pandang sejarah
berarti perang dan penyerangan militer yang dilakukan Nabi Muhammad.
Belakangan, makna kata ini sering diperluas untuk mencakup seluruh misi kerasulannya.[2]
Redaksi
lain mengartikan al-Maghazi adalah Pasukan atau peperangan yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah. Dalam hal ghazwah pun tidak mesti terjadinya perang
atau kontak senjata, asal ada gerakan pasukan yang dipimpin Nabi dinamakan
ghazwah juga misalnya:
1.
Patroli
keamanan keempat menjelang perang Badar, pasukan muslim dipimpin langsung oleh
Rasulullah. Dalam patroli itu tidak berjumpa dengan musuh. Ghazwah pulang
dengan selamat.
2.
Ketika
terjadi serangan kafir Quraisy pimpinan Kuraiz bin Jabir al-Fahri terhadap tepi
kota Madinah yang tidak terjaga, maka Rasulullah langsung memimpin ghazwah
untuk mengejarnya. Pasukan musuh menghilang dan tidak diketahui lagi jejaknya
di lembah Badar sehingga ghazwah Nabi kembali tanpa hasil.
3.
Kalau
dikatakan Ghazwah Badar, itu berarti terjadi peperangan antara kaum Muslim
dengan musuh, yang ketika itu pasukan Muslim dipimpin langsung oleh Nabi SAW.[3]
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Maghazi adalah gerakan senjata
yang dipimpin Rasulullah yang mencakup perang dan penyerangan militer yang
dipimpin Rasulullah untuk mempertahankan diri. Dikatakan mempertahankan diri di
sini, dikarnakan perang (ghazwah) yang dipimpin Rasulullah ini bukan untuk
menindas atau menghancurkan peradaban daerah yang di perangi.
Sayyid
Quthb berkata,”Islam menjauhkan segala bentuk peperangan yang didasari oleh
motif rasa tamak, tendesi materi, eksploitasi kekayaan alam, penjajahan, menguasai pasar, pembudakan. Di samping itu
Islam juga menghindari peperangan yang didasari oleh motif keuntungan pribadi-pribadi
tertentu. Tidak ada tempat dalam Islam untuk bentuk-bentuk peperangan di atas.
Islam selalu mengajak kerja sama yang menghasilkan kebaikan dan ketakwaan,
bukan dosa dan permusuhan.”[4]
B. Perkembangan Al-Maghazi
Maghazi
merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan kehidupan Nabi, yang
dilakukan beberapa sahabat terkemuka. Mereka mengumpulkan hadits historis yang
beredar pada masa mereka. Koleksi mereka inilah yang kemudian menjadi data
penting bagi tabi’un. Horovitz menyatakan, meski data hadits yang terekam di
atas shaha’if (shuhuf) atau di dalam kitab tidak jelas nilainya, tetapi tidak
ada keraguan bahwa catatan tertulis semacam itu bukan lagi merupakan barang
langka di kalangan tabi’un, yang memperoleh pengetahuan dari para sahabat.
Mengingat
uraian atas, tidak heran jika studi Maghazi muncul bebarengan dengan studi
hadits. Muhadditsun menunjukkan minat mereka terhadap Maghazi, tetapi sebagian
di antara mereka, ketika mengkaji riwayat kehidupan Nabi, mereka melakukannya
dalam cara yang melampui batas aspek hukum. Jadi, para pioner studi Maghazi adalah
muhadditsun, mereka dipandang sebagai pengarang Maghazi. Ini juga menjelaskan
kenapa isnad menduduki peranan penting dalam mengukur nilai Maghazi. Ini
berarti nilai hadits dan riwayat lain tergantung pada reputasi para muhadditsun
atau perawi yang terdapat pada rangkaian isnad. Inilah yang mendorong timbulnya
sikap kritis terhadap riwayat perawi
mereka yang meriwayatkan dan mentransmisikan informasi. Selanjutnya, ini
memperkenalkan unsur penyelidikan dan penelitian atas berbagai riwayat dan
dengan demikian meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi studi sejarah kritis.[5]
Dalam
redaksi lain juga disebutkan bahwa Penulisan hadits itu dapat dikatakan sebagai
cikal bakal penulisan sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi itu, para
sejarawan segera memperluas cakupan sejarah. Pertama-pertama mereka
mengembangkannya kepada riwayat-riwayat yang berkenaan dengan perang-perang
Nabi yang disebut dengan al-Maghazi. Para penulisnya adalah para ahli hadits.
Oleh karena itu, sebagaimana dalam penulisan hadits, mereka juga menggunakan
isnad. Penulisan al-Maghazi ini melapangkan jalan bagi penulisan biografi Nabi
yang biasa disebut al-Sirah. Para penulis sejarah seperti ini pertama-tama adalah
putra-putra sahabat Nabi.[6]
Terhadap
perkembangan penulisan sejarah islam sampai tahap ini, Husen Nashar
menyimpulkan, bahwa penulisan sejarah Arab islam tumbuh dari dua arus yang
berbeda:
1.
Arus
lama, yang terdiri dari cerita-cerita khayal dan folklore, yang dipengaruhi
oleh corak “sejarah” arab klasik yang disampaikan oleh narator-narator yang
berpindah-pindah dari arab utara dalam bentuk al-Ansab dan al-Ayyam, dan cerita
tentang raja-raja Arab selatan, serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya arus
lama ini mengambil bentuk syair. Kisah-kisah ini tidak didasarkan atas
penanggalan (kronologis) kejadian, antara satu peristiwa dengan peristiwa lain
tidak ada hubungannya.
2.
Arus
baru yang dimunculkan islam, yaitu arus biografi yang terdiri dari
berita-berita autentik dan mendalam, cabang dari ilmu hadits, oleh karena itu
melalui kritik dan seleksi, terdiri dari kisah-kisah yang benar dan
kadang-kadang juga ada khayal yang terdapat dalam diri Rasul. Sejarawan
mengumpulkan kisah-kisaah itu, menyusunnya, menghubung-hubungkan antara satu
dengan yang lain, dengan disinari oleh ayat-ayat al-Qaur’an.
Arus
pertama, terutama al-Ayyam, telah memainkan peran terutama terhadap kehidupan
Nabi di Madinah yang penuh dengan peperangan (ghazawat). Kisah tentang
peperangan itu tersebar bagaikan tersebarnya al-Ayyam di masa sebelum Islam.
Nabi digambarkaan sebagai pahlawan (al-Bathal) seperti yang biasa terdapat
dalam al-Ayyam sebelum Islam itu. Adapun arus penulisan biografi terdapat di
dalamnya corak ilmiah yang mendalam di Madinah, lebih di negri-negri lain,
karena para sejarawan di sana terikat dengan hadits-hadits shahih lebih dari
pada sejarawan lain.[7]
Akan
tetapi perlu diingat bahwa terdapat perbedaan antara al-Ayyam dan al-Maghazi
yaitu seperti yang dijelaskan dalam buku Early Muslim Historiography sebagai
berikut:
The
institution of the ayyam narrative had a deep impact on the Arab tribal society
which remained alive and intact till much after the advent of islam. The
maghazi narratives clearly indicate the influence of the ayyam: fristly, in the
use of poetry secondly, in their hyperbolic style and lastly, in the
presentation of minute details of war. Although this style helped crystallize
the background of the Islamic traditions, yet the maghazi narratives distinctly
differ from those of the ayyam in respect of the following characteristics:
- Transmitters
of the maghazi were the Companions of the propet, and the biographical
accounts of the most of them are available to us while the transmitters of
the ayyam tales are nonentities.
- The
maghazi narratives present a chronological sequence of expedition,
launches by propet while the ayyam absolutely lack in datesor cronology.
- As
for the historical value of the magazi and the ayyam narrative, we can
derivevaluable hints of historicalsignificance out of the magazi after
eliminating the poetry and the exaggerative style. But, in the ayyam
narratives there is very scant and undependable matterial from
historigraphical es point view.
- The
ayyam tales have no authority-chains while the magazi narratives have been
transmitted on the puttern of the hadits and are generally supported by
chains of authority
- The
purpose behind the ayyam tales was to glorify the deeds of a tribe and to
create sense of pride among its members. This hardly requires any
authentication or attestation. But, the magazi narratives, in addition to
the above purpose and quality , also carried a sense of historical
literature. Hence, the status of the magazi-reporter was more important
than that of the ayyam-narrator or themert story-teller.
- The
ayyam narratives are the prejudicated version which glorify only the tribe
to which they belong. Hence their statements are not free from
exaggertion, tribal partisanism and favouritism.[8]
Yang artinya yaitu:
Adat kebiasaan narasi Ayyam memiliki
dampak yang mendalam pada masyarakat suku Arab yang tetap hidup dan utuh sampai
jauh setelah munculnya islam. Narasi Maghazi jelas menunjukkan pengaruh Ayyam
tersebut, Pertama, dalam penggunaan puisi. Kedua, dalam gaya
hiperbolik mereka dan Terakhir, dalam penyajian rincian menit perang. Meskipun
gaya ini memperjelas latar belakang tradisi Islam, namun narasi Magazi jelas
berbeda dari Ayyam, sehubungan dengan hal itu karakteristiknya adalah sebagai
berikut:
- Yang
menyebarkan Magazi adalah para sahabat nabi, dan sebagian besar catatan
biografi dari mereka ada hingga sampai pada kita, sementara orang yang
menyebarkan dongeng Ayyam adalah terlupakan.
- Narasi
Maghazi menyajikan kronologis Urutan Ghazwah, yang dilakukan oleh Nabi, sementara
Ayyam sama sekali kurang dalam hal tanggal atau kronologi.
- Adapun
nilai historis dari Magazi dan narasi Ayyam, kita dapat memperoleh
petunjuk berharga signifikansi historis dari Magazi setelah menghilangkan
puisi dan gaya yang berlebih-lebihan. Namun, dalam narasi Ayyam sangat
sedikit dan materinya kurang dipercaya dari sudut pandang historiografi.
- Cerita
Ayyam tidak memiliki rantai otoritas, sementara narasi Magazi telah
ditransmisikan pada pola hadits dan umumnya didukung oleh rantai otoritas
- Tujuan
di balik cerita Ayyam adalah untuk memuliakan perbuatan suku dan untuk
menciptakan rasa bangga di antara para anggotanya. Ini hampir tidak
memerlukan setiap otentikasi atau pengesahan. Namun, narasi Magazi, selain
tujuan di atas dan kualitas, juga membawa rasa literatur sejarah. Oleh
karena itu, status orang yang menulis Maghazi itu lebih penting daripada
orang yang bercerita tentang Ayyam atau hanya orang yang bercerita.
- Narasi
Ayyam adalah versi berprasangka untuk memuliakan hanya dari suku mana
mereka berasal. Oleh karena itu pernyataan mereka tidak lepas dari
berlebihan, partisanism suku dan pilih kasih.
C. Tokoh-Tokoh Penulis Al-Maghazi
Para tokoh Islam
yang menulis Maghazi adalah:
1. Aban Ibn Utsman Ibn ‘Affan
(105 H/723 M)
Ia
dapat disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkaji
al-Maghazi.[9]
Dialah orang pertama yang menyusun kumpulan khusus tentang al-Maghazi. Dia juga
dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadits dan kajian
al-Maghazi.[10]
Aban
mempunyai reputasi sebagai Muhadditsun dan Faqih yang diangkat menjadi gubernur
Madinah oleh khalifah Abd Al-Malik ibn Marwan. Aban menuliskan sebuah kumpulan
hadits khusus berkenaan dengan Maghazi.[11]
2. Urwah Ibn Zubair
Penanganan
lebih lengkap atas Maghazi yang dilakukan Urwah ibn Al-Zubair (L. 23/643, w
94/712). Ia adalah orang pertama yang menulis kitab lebih baik tentang Maghazi,
dan karenanya ia sering dipandang sebagai pendiri studi Maghazi. Sayang,
karyanya ini hanya tinggal dalam bentuk kutipan pada karya para sejarawan
semacam al-Thabari, Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Ibn Sayyid An-Nas dan Ibn Katsir.
Kutipan-kutipan mereka merupakan tulisan paling awal tentang Maghazi yang
sampai ke tangan kita.[12]
Ia
adalah seorang ahli Hadits dan Fiqh. Sama dengan Aban, Urwah juga mencantumkan
isnad dalam peristiwa-peristiwa penting, seperti turunnya wahyu dan hijrah.
Tulisannya sederhana, jauh dari khayal. Apa yang dipaparkannya bersifat faktual
dan tidak berlebih-lebihan. Dia meriwayatkannya dari sumber pertama seperti
Aisyah dan anggota keluarga Zubair. Dia juga memperluas bidang kajian sejarah
sehingga meliputi masa al-Khalafa ar-Rasyidin. Tulisan-tulisannya meliputi
peristiwa perang Riddah pada masa khalifah Abu
Bakar dan perang Qadisiyah pada masa khalifah Umar Bin Khattab.[13]
Maghazi
karya Urwah jelas tidak terbatas pada pengertian sempit kata ini. Kutipan Maghazi
karya Urwah itu mencakup berbagai aspek kehidupan Nabi, seperti permulaan Nabi menerima wahyu al-Qur’an,
beberapa serangan dan perang yang dilakukan Nabi dan sejumlah masalah pribadi
Nabi SAW. Dalam periwayatannya, Urwah tidak mengungkapkan secara terinci
pertarungan bersenjata yang terjadi dalam Ghazwah Nabi SAW. Urwah yang aktif
berceramah ini menuliskan sebagian ceramahnya bahkan sebagian tulisannya
tentang sejarah mencakup jawaban tertulis atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya oleh istana Dinasti Umayyah.
Urwah
sangat terpandang sebagai ahli dalam hadits, ia adalah salah seorang “Tujuh
Fukhaha” terkemuka di Madinah.
Hubungannya dengan tokoh-tokoh terpandang di masa awal Islam
menempatkannya pada posisi untuk mendapatkan dari tangan pertama banyak riwayat
tentang hari-hari pertama Islam. Karena itu, ia meriwayatkan banyak hadits dan
dalam literatur Sirah. Dari fragmen-fragmen Maghazi-nya yang sampai ke tangan
kita, jelas bahwa Urwah mendasarkan karyanya ini pada hadits historis yang
dikumpulkannya sendiri. Sirah tertua yang kita miliki, karya penulis lebih
belakangan dari Urwah mengambil banyak bahan dari Maghazi Urwah.
Dalam
beberapa riwayatnya Urwah menggunakan isnad, tetapi pada sebagian yang lain ia
tidak menggunaknnya sama sekali. Dalam hal terakhir kelihatannya Urwah
menggabungkan sejumlah hadits ke dalam narasi tunggal berkesinambungan. Kasus
tidak digunakannya isnad oleh Urwah tak harus mengherankan, karena pada masa
Urwah (ia termasuk tabi’un paling awal) ketentuan tentang isnad belum
sepenuhnya baku. Pada masa ini dipandang cukup kuat mengambil riwayat langsung
dari tabi’un.[14]
3. Wahab ibn Munabih
(110 H/728 M)
Ia
adalah seseorang yang berasal dari keluarga Persia yang menetap di Yaman sejak
masa sebelum Islam. Dia mengetahui berita-berita ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) melalui orang-orang Yaman. Dia juga mampu membaca tulisan-tulisan kuno
yang tidak dapat dibaca para pendeta pada waktu itu. Karyanya berjudul kitab
al-Mubtada dan kitab al-Muluk al-Mutawwajah min Himyar wa Akhbaruhum wa Ghair
Dzalik. Akan tetapi, tulisan-tulisannya berbeda dari tulisan-tulisan penulis
al-Maghazi yang tersebut terdahulu. Tulisannya tidak menggunakan isnad dan
langgam bahasanya juga berbeda. Kitabnya juga memuat khayal dan dongeng. Dia
juga sangat memperhatikan Israiliyyat (berita-berita Yahudi dan Nashrani) dan
dongeng-dongeng masa silam. Karena banyaknya unsur dongeng di dalam karyanya,
maka sebagian ilmuan sekarang tidak menganggapnya sebagai sejarawan tetapi
lebih sebagai seorang sastrawan.[15]
Horovits
menyatakan, Wahb secara umum diakui sebagai perawi hadits yang terpercaya (tsiqah),
meski ia tidak menggunakan isnad, dan bahkan memakai sumber-sumber Yahudi dan
Nasrani dalam Maghazinya yang berjudul kitab Al-Mubtada’. Tetapi Abbot dan Duri
menyanggah penilaian Horovitz. Keduanya menilai, Wahb ibn Munabih bukanlah
penulis terpercaya dan cermat dan karena itu, laporan-laporannya tidak bernilai
bagi sejarawan yang serius. Ia tak lebih sekedar tukang cerita. Abbot dan Duri
berhujjah, Wahb tidak bisa dipercaya karena ia dengan seenaknya bersandar pada
cerita Perjanjian lama dan Isra’iliyyat, serta pada imajinasinya. Tetapi
beberapa Historiografer lebih belakangan ini, seperti Ibn Ishaq, Ibn Qutayah,
dan Al-Thabari mengutip banyak bagian karya Wahb tanpa memeriksa reliabilitasnya.[16]
4. Syurahbil ibn Sa’ad (123 H)
Disamping
dikenal sebagai perawi hadits, ia juga dikenal sebagai sejarawan muslim
generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-Sirah dan al-Maghazi.
Dia dianggap sebagai orang yang tahu tentang perang-perang Nabi SAW
(al-Maghazi), orang-orang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah bersama Nabi
Muhammad SAW dan orang-orang yang terlibat dalam Perang Badar dan Perang Uhud.[17]
Syurahbil
ibn Sa’ad (w. 123/741) seorang mawla dari Bani Khatmah, dan Wahb ibn Munabbih
(w. 110/728), keturunan persia yang menetap di Yaman. Kedua tabi’un ini
dipandang tidak terpercaya. Padahal Syurahbil sebenarnya termasuk ahli dalam
hal Maghazi, tetapi orang mencurigainya sebagai suka menonjolkan pihak tertentu
yang sebenarnya tidak berperan banyak dalam sejarah Islam. Terdapat juga
penilaian, hadits yang diriwayatkan Syurahbil tidak disenangi.[18]
5.
Abdullah
ibn Abi Bakr ibn Hazm
Ia
adalah seorang Qhadi di Madinah dan perawi hadits yang berminat khusus pada Maghazi.
Ia mewariskan kitab Al-Maghazi pada kemenakannya Abd Al-Malik ibn Muhammad SAW
(w. 176/792). Sayang sekali kitab ini tidak atau belum ditemukan, selain
kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Dari kutipan itu
terlihat karya Abdullah tidak terbatas pada pengertian sempit Maghazi, karena
ia juga mengungkapkan masa remaja Nabi Muhammad SAW. Ia meriwayatkan pula
laporan tentang pemberontakan beberapa kabilah Arab setelah meninggalnya Nabi
dan juga tentang berbagai peristiwa dalam dasawarsa berikutnya. Menurut Al-Thabari,
ia merupakan orang pertama yang menetapkan urutan kronologis
peristiwa-peristiwa di masa Nabi SAW, ia juga menyusun daftar perang yang
dilakukan Nabi SAW dalam urutan kronologis, yang selanjutnya dipinjam Ibn Ishaq
di dalam karyanya. Abdullah sangat memperhatikan khusus pada sumber-sumber yang
digunakannya. Ia juga memberikan perhatian khusus pada sumber-sumber tertulis,
seperti surat Nabi SAW kepada seorang Pangeran Arabia Selatan dan dokumen yang
diberikan Nabi SAW kepada kakeknya Amr ibn Hazm untuk dibawanya ke Najran
ketika ia diperintahkan Nabi SAW menyebarkan Islam di sana.
Abdullah
ibn Abi Bakr ibn Hazm, Ashim ibn Umar ibn Qatadah dan Muhammad ibn Muslim ibn
Syihab Al-Zuhri. Ketiga tokoh ini termasuk ke dalam kelompok muhadditsun yang
memberikan perhatian khusus pada studi Maghazi. Bertanggung jawab atas
peningkatan dan perluasan studi Maghazi. Karya-karya mereka dengan mantap
mengukuhkan kerangka bagi penulisan Maghazi, materi yang mereka gunakan menjadi
bahan penting yang digunakan Ibn Ishaq dan kemudian oleh Al-Waqidi.[19]
6.
Ashim
ibn Umar ibn Qatadah al-Zhafari (120 H/737 M)
Ia
adalah seorang tokoh sejarah aliran Madinah yang memiliki pengetahuan luas
tentang al-Maghazi dan al-Sirah. Demikian luasnya pengetahuannya dalam hal
tersebut, sampai-sampai Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah Bani Umayyah
memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Masjid Damaskus dimana dia
memberikan kuliah tentang al-Maghazi dan riwayat hidup para sahabat.[20]
Ashim
ibn Umar ibn Qatadah adalah perawi hadits yang terpercaya. Kakeknya, Qatadah
termasuk orang Madinah yang pertama menerima Islam. Ashim pernah ditugaskan
oleh Khalifah Umar II (ibn Abd Al-Aziz) menyampaikan kepada kaum muslim,
khususnya di Damaskus, riwayat perang yang dilakukan Nabi SAW dan amal mulia
para sahabat. Ashim merupakan salah satu sumber utama Ibn Ishaq dan Al-Waqidi.
Ia juga mengungkapkan riwayat terinci tentang masa muda dan kehidupan Nabi di
Madinah. Ia sering menyebutkan isnad-nya, tetapi tak jarang pula tidak
menyebutkannya sama sekali. Sikapnya pada isnad sama dengan sikap Abdullah ibn
Abu Bakar. Ashim sering pula memasukkan pernyataan aktor-aktor utama dalam
riwayat yang disampaikannya, ia tidak berlaku sebagai sekedar pengumpul riwayat,
tetapi juga menyatakan pendapat dan penilaiannya sendiri atas berbagai
peristiwa.[21]
7. Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri
(124 H/741M)
Al-Zuhri
dari Bani Quraisy kabilah Zuhrah. Yang atas permintaan Umar ibn Abdul Aziz
melakukan pengumpulan hadits yang menurut riwayat pengumpulannya itu disimpan
di kamar istana. Dialah ulama hadits yang mula-mula sekali mengumpulkan hadits.[22]
Di
dalam perpustakaan Bani Umayyah di Damaskus terdapat bertumpuk-tumpuk buku
berjilid yang berisi bahan-bahan ilmiah yang dikumpulkannya. Terdapat langkah
baru yang muncul di tangan al-Zuhri dalam penulisan sejarah. Dia menggabungkan
riwayat-riwayat dan hadits-hadits dalam satu topik. Dia juga menulis biografi
(sirah) Nabi Muhammad.[23]
8. Musa ibn Uqbah (141 H/758 M)
Ia
adalah murid al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang menguasai banyak ilmu
keagamaan Islam, tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang yang banyak memiliki
pengetahuan tentang al-Maghazi. Imam Malik ibn Anas berkata:”Kalau ingin
menimba ilmu tentang al-Maghazi,maka timbalah dari Musa ibn Uqbah, karena
al-Maghazi yang paling shahih (pada masa itu) adalah al-Maghazinya Musa ibn
Uqbah.[24]
D. Hadits-hadits tentang Ghazwah Rasulullah
SAW
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa sumber-sumber Maghazi sebagian besar dari
hadits, berikut ini merupakan beberapa hadits yang menceritakan tentang Ghazwah
Rasulullah atau hal yang berkaitan dengan perang pada masa Nabi SAW:
1.
Etika
Perang dalam Islam
وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ
بُرَيْدَةَ, عَنْ أَبِيهِ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ او سرية أَوْصَاهُ فى خاصته بِتَقْوَى اَللَّهِ, وَمَنْ مَعَهُ مِنْ
اَلْمُسْلِمِينَ خَيْراً, ثُمَّ قَالَ: اُغْزُوا بِسْمِ اَللَّهِ, فِي سَبِيلِ
اَللَّهِ, قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاَللَّهِ, اُغْزُوا, وَلَا تَغُلُّوا, وَلَا
تَغْدِرُوا, وَلَا تُمَثِّلُوا, وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيداً, وَإِذَا لَقِيتَ
عَدُوَّكَ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ,
فَأَيَّتُهُنَّ ما أَجَابُوكَ إِلَيْهَا, فَاقْبَلْ مِنْهُمْ, وَكُفَّ عَنْهُمْ:
ادْعُهُمْ إِلَى اَلْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ ثُمَّ
اُدْعُهُمْ إِلَى اَلتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اَلْمُهَاجِرِينَ,
فَإِنْ أَبَوْا فَأَخْبَرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ اَلْمُسْلِمِينَ,
وَلَا يَكُونُ لَهُمْ. فِي اَلْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ
يُجَاهِدُوا مَعَ اَلْمُسْلِمِينَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْأَلْهُمْ
اَلْجِزْيَةَ, فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ, فَإِنْ هم أَبَوْا
فَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ. وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ
فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اَللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ, فَلَا
تَفْعَلْ, وَلَكِنْ اِجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ; فَإِنَّكُمْ إِنْ تُخْفِرُوا
ذِمَمَكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنَّ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اَللَّهِ, فأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ
اَللَّهِ, فَلَا تَفْعَلْ, بَلْ عَلَى حُكْمِكَ; فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ
حُكْمَ اَللَّهِ تعالى فِيهِمْ أَمْ لَا ) متفقٌ عليهِ .
“Dari Sulaiman Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dia berkata,”Saat Rasulullah
SAW mengutus seorang panglima tentara atau pasukan, beliau memberi pesan khusus
kepada panglima itu agar bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada
pasukan yang bersamanya. Lalu beliau SAW bersabda : "Berperanglah kalian
atas nama Allah SWT, di jalan Allah SWT, perangilah orang yang mengingkari
Allah SWT. Berperanglah dan jangan mengambil ghanimah sebelum dibagikan. Jangan
berkhianat dan jangan memutilasi musuh. Janganlah kalian membunuh anak-anak
(yang belum baligh). Jika kamu bertemu musuhmu yang musyrik, ajaklah dia untuk
mematuhi tiga hal. Jika mereka mematuhi salah satunya maka terimalah mereka dan
jangan kalian menyerangnya; ajaklah mereka memeluk agama Islam. Jika mereka
menerimanya maka terimalah mereka. Kemudian ajak mereka untuk berpindah dari
wilayah mereka ke wilayah muhajirin. Jika mereka menolak, beritahu kepada
mereka bahwa mereka akan diperlakukan seperti masyarakat Arab desa yang muslim
lainnya, (dimana) mereka tidak memperoleh ghanimah dan fai’ kecuali jika mereka
berjihad bersama muslim lainnya. Jika mereka menolak (berjihad) maka mintalah
jizyah kepada mereka. Jika mereka mematuhinya maka terimalah. Jika mereka
menolaknya (memberikan jizyah) maka mintalah bantuan kepada Allah SWT dan
perangilah mereka. Jika kalian mengepung pasukan yang berada dalam sebuah
benteng lalu mereka meminta kamu memuat suatu perjanjian atas nama Allah SWT
dan Nabi-Nya maka jangan kamu lakukan itu. Tetapi buatlah perjanjian untuk
mereka atas namamu. Sesungguhnya kalian mengkhianati perjanjian-perjanjian
kalian lebih ringan daripada kalian menghianati perjanjian Allah SWT. Jika
mereka meminta kamu memutuskan untuk mereka berdasarkan hukum Allah SWT maka
jangan kamu lakukan, tetapi berdasarkan hukummu. Sesungguhnya kamu tidak tahu
apakah (yang kamu putuskan) itu sesuai dengan hukum Allah SWT atau tidak”.(HR. Muslim).
Hadits ini dengan amat
baik menggambarkan cara berjihad berdasarkan dari sumbernya, yaitu Rasulullah SAW. Ia juga
mengungkapkan peperangan dalam Islam
dilakukan secara adil menyadari nilai kemanusiaan dan kasih sayang serta
bertujuan menciptakan kebaikan disamping ketegaskan dalam memegang sebuah
perjanjian. Gambaran ini berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh para musuh
Islam yang mengatakan bahwa Islam penuh dengan kekerasan dan karakter-karakter
buruk lainnya. Pernyataan tersebut didasari oleh ketidaktahuan tentang Islam
itu sendiri atau sekedar ikut-ikutan atau mungkin juga karena faktor permusuhan
kebencian dan dendam.
Nabi SAW tidak pernah
mengutus pimpinan pasukan (amir) kecuali memberi pesan kepadanya dan juga
memberi pesan kepada pasukannya. Secara umum pesan itu berisi agar mereka
mematuhi hukum etika dan fadhilah dalam perang mereka. Pesan yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW adalah takwa kepada Allah SWT. Takwa meskipun sebuah kata
pendek sudah mengandung seluruh kebaikan. Takwa adalah patuh kepada semua
perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. beliau SAW berpesan kepada
pimpinan pasukan agar bertakwa kepada Allah SWT dan bersikap baik dengan
pasukan yang dipimpinannya. Tidak mengeksploitasi kekuasaan dan memanfaatkan
kepatuhan bawahan untuk kepentingan pribadinya. Peraturan yang dibuat harus
didasarkan kepada kemaslahatan umum dan kaum muslim.
Jangan memutilasi musuh
dengan cara memotong tangan kaki telinganya atau mengeluarkan isi perutnya.
Tindakan seperti hanya dilakukan oleh orang yang berperang dengan tujuan balas
dendam bukan peperangan yang ingin mewujudkan kebaikan. Dilarang membunuh
anak-anak (yang belum mencapai usia baligh). Perang dalam Islam bukan
penjajahan dan pembudakan namun menyerahkan kepada kaum muslim apa yang menjadi
hak mereka dan mengambil dari kaum muslim apa saja yang bukan menjadi hak
mereka. Jika mereka tidak mau memeluk agama Islam maka mereka dibaiarkan tetap
dalam agamanya hanya saja dikenai pembayaran jizyah sebagai kompensasi atas
perlindungan keselamatan harta serta untuk kepentingan maslahat mereka.
Jika mereka tidak mau
membayar jizyah dan tetap menghalangi proses dakwah dengan cara menghalangi
orang yang ingin mendengarkan dakwah Islam
maka kaum muslim terpaksa memeranginya agar dakwah dan agama dapat terus
dikembangkan . jika kemudian terjadi pertempuran antara kaum muslim dengan para
musuhnya maka peperangan itu adalah peperangan rahmat sebab orang yang tidak
mempunyai kaitan dengan peperangan itu tidak akan diserang atau dibunuh. Karena
itu tidak diperbolehkan membunuh orang tua renta, rahib atau pendeta yang
berada dalam tempat ibadahnya anak kecil dan wanita. Perang dalam Islam juga
tidak dapat disebut sebagai perang pemberontakan atau perang atas nama dendam
yang diwujudkan dengan cara menyiksa pasukan musuh. [25]
2.
Ghazwah Fathul Mekkah
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِي رَمَضَانَ مِنَ
الْمَدِيْنَةِ وَمَعَهُ عَشَرَةُ آلَافٍ, وَذَلِكَ عَلَى رَأْسِ ثَمَان سِنِيْنَ
وَنِصْفٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِيْنَةَ, فَسَارَ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ اِلَى مَكَّةَ, يَصُومُ وَيَصُومُونَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيْدَ –
وَهُوَ مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ – أَفْطَرَ وَأَفْطَرُوا. قَالَ الزُّهْرِيُّ:
وَإِنَّمَا يُؤخَذُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّمَ الآخِرُ
فَالآخِرُ.
Dari Az-Zuhri dari Ubaidillah
bin Abdullah dari Ibnu Abas RA “Sesungguhnya
Nabi SAW keluar pada bulan Ramadhan dari Madinah bersama 10.000 (personil).
Kejadian itu berlangsung pada awal delapan setengah tahun sejak kedatangannnya
di Madinah. Beliau berjalan bersama kaum muslimin menuju Mekkah. Beliau
berpuasa dan merekapun berpuasa. Hingga ketika sampai di Al kadid yaitu sumber
air yang terletak antara Usfan dan Qudaid beliau berbuka (tidak lagi berpuasa)
dan mereka pun berbuka (tidak berpuasa).”Az-Zuhri berkata “Sesungguhnya perintah
Nabi SAW yang diambil adalah yang paling akhir.”[26]
Perang al-Fath terjadi
di bulan Ramadhan tahun ke 8 H. Ibnu Ishaq menambahkan dari Az-Zuhri melalui
sanad ini bahwa Nabi SAW menunjuk Abu Ruhm al-Ghifari untuk menjadi pemimpin
sementara di Madinah. Al-Waqidi menerangkan bahwa Nabi SAW keluar setelah
berlalu 10 hari bulan Ramadhan tidak cukup berdasar untuk dijadikan pembanding
riwayat yang lebih akurat. Dalam menetapkan waktu terjadinya peristiwa tersebut
ada beberapa pendapat lain yaitu:
- Pada
hari ke-16 bulan Ramadhan keterangan ini dinukilkan oleh Imam Muslim
- Pada
hari ke-18 bulan Ramadhan sebagaimana dikutip Imam Ahmad
- Pada
hari ke-12 bulan Ramadhan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad
Keterangan-keterangan
ini mungkin digabungkan dengan memahami salah satunya untuk hari-hari yang
tersisa dari bulan tersebut dan lainnya untuk hari-hari yang telah berlalu.
Adapun keterangan didalam kitab Al-Maghazi “ beliau masuk setelah berlalu 19
hari bulan Ramadhan “ dipahami menurut perbedaan awal bulan. Sementara dalam
riwayat lain ditemukan keraguan apakah pada hari ke-19 atau ke-17.
Ya’qub bin Sufyan
meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari sejumlah gurunya bahwa pembebasan kota mekkah
terjadi pada 10 hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. Bersamanya 10.000
(personil) maksudnya dari semua kabilah yang ada. Dalam riwayat Urwah secara
mursal yang dikutip Ibnu Ishaq dan Ibnu A’idz disebutkan”kemudian Rasulullah
SAW keluar membawa 12.000 daripada kaum Muhajirin, Anshar, Aslam, Ghifar,
Muzainah, Juhainah dan Sulaiman. “ hal yang sama tercantum dalam kitab Al-Iklil
dan Syarf Al-Musthafa. Kedua versi ini mungkin digabungkan bahwa 10.000 personil
keluar bersama beliau dari Madinah dan 2.000 lagi bergabung saat dalam
perjalanan. Hal ini akan dikelaskan pada riwayah Urwah yang sesudahnya secara
mursal.[27]
3.
Strategi Perang Rasulullah
وعن كَعْبِ بن مالك – رضي
الله عنه - أنَّ النّبيَّ صلى الله عليه وسلّم (كَانَ اِذَ أَرَادَ غَزْوَةً
,وَرَّى بِغَيْرِهَا) متفقٌ عليهِ
Dari Ka’ab bin Malik RA: bahwa ketika Nabi hendak berangkat berperang
beliau SAW menyembunyikannya dengan hal lain. Muttafaqun ‘alaih
Hadits ini mengungkapkan sisi startegi berperang Rasulullah. Jika beliau
SAW hendak menyerang suatu wilayah utara beliau membuat kesan seakan-akan
hendak menyerang wilayah selatan. Secara terbuka beliau bertanya tentang jalan
menuju selatan, kabilah-kabilah yang kemungkinan dijumpai dalam perjalanan ke
sana sehingga terkesan ia hendak pergi wilayah tersebut. Tujuannya agar beliau
SAW dan pasukannya dapat menyerang musuh secara tiba-tiba tanpa persiapan.
Penyerangan tiba-tiba ini mempunyai dua keuntungan:
a.
Menekan jumlah korban antara kedua belah pihak. Dengan menghindari
pertemuan langsung kedua pasukan maka kerugian dapat berkurang. Hal ini sesuai
dengan prinsip perang beliau SAW bahwa suatu peperangan dilakukan dengan tujuan
kebaikan. Cukup dengan membuat musuh menyerah. Kekerasan yang berhasil
dihindari diganti kasih sayang termasuk kepada tawanan.
b.
Menyerang secara tiba-tiba juga dapat menghemat tenaga dan perlengkapan.
Hal ini bermanfaat untuk bekal pertempuran lain dimana jika strategi di atas
tidak dapat berjalan secara efektif.[28]
[1] Badri Yatim, Perkembangan
Historiografi Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),
hal.30
[2] Azyumardi
Azra, Historiografi Islam Kontemporer Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2002), Cet. I, hal. 29
[3] Soekama Karya dkk, Ensiklopedi
Mini Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu: 1996), Cet.
1, hal. 47
[4] Abdullah Bin Abdurrahman
Al-Bassam, Buku Syarah Bulughul Maram, Jilid. 6, Terj. dari Taudhih
Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram oleh Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), hal. 431
[5] Azra, loc.cit.
[7] Yatim, op.cit, h. 44
[8] Nisar Ahmed Faruqi, Early
Muslim Historiography, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1979), hal. 42
[9] Badri Yatim, Perkembangan
Historiografi Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.30
[12] Azra, op.cit,
hal. 30
[15] Badri Yatim, Historiografi
Islam,.... h. 43
[16] Azra, op.cit,
hal. 32
[22] Umar, loc.cit.
[26] Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Hajar As-Asqalani, Buku Fathul Baari, Jilid. 21, Terj.
dari Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Amiruddin, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), hal. 10
[28] Al-Bassam, op.cit,
hal. 433-432
Tidak ada komentar:
Posting Komentar