Posted by: Siti Zaenab
22 Maret 2015
IBNU THUFAIL
(Kisah Hayy Bin Yaqdhan)
A. Riwayat Hidup dan Karyanya
Ibnu Thufail terkenal dengan
filosof muslim yang gemar menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui
kisah-kisah yang ajaib dan penuh dengan kebenaran. Ia adalah Abu Bakar Muhammad
Bin Abdul Malik Bin Thufail, dilahirkan di wadi asy dekat granaa, pada tahun
506 H/1110 M. Kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika,
dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersebut dan berulangkali menjadi
penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal ia menjadi dokter pribadi Abu
Ya’qub Yusuf Al-Mansur, khalifah kedua dari daulat muwahhidin. Dari al-mansur
ia mendapatkan kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada
masanya di khalifah itu, diantaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas
buku-buku karangan aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan
beberapa karangan dari ibnu thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat,
seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan sebagainya, disamping
risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada ibnu rusyd. Akan tetapi karangan
tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja yaitu hay bin yaqadhan,
yang merupakan intisari dari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang
telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.[1]
B. Kisah Hay Bin Yaqadhan
Seorang anak tinggal sendirian di
suatu pulau, yaitu hay bin yaqadhan, disusui dan diasuh seekor rusa. Ketika ia
sudah besar, ia mempunyai hasrat yang kuat untuk mengetahui dan menyelidiki
tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya. Ia menyadari bahwa
hewan-hewan mempunyai pakaian alami dan alat pertahanan bagi dirinya, sedang ia
telanjang dan tidak bersenjata. Oleh karena itu ia menutupi dirinya
pertama-tama dengan kulit-kulit hewan yang sudah mati, serta memakai tongkat
sebagai alat pertahanan diri. Lambat laun ia mengenal kebutuhan-kebutuhan hidup
yang lain, mengetahui cara memakai api, manfaat bulu, tahu menenun dan akhirnya
membangun gubug sebagai tempat berteduhnya.
Dalam pada itu rusa pengasuhnya
semakin lama semakin tua dan lemah, kemudian mati. Pikiran manusia yang serba
hendak tahu ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu.
Untuk itu ia membedah salah satu bagian tubuh hewan tersebut, dan dengan
cermatnya ia menyelidiki bagian-bagian tubuhnya. Kemudian ia berkesimpulan
bahwa jantung merupakan pusat bagi anggota-anggota tubuh.
Sesudah itu, ia mempelajari
bahan-bahan logam, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang terdapat dipulau
kediamannya, mempelajari suaranya yang bermacam-macam dan menirunya pula.
Kemudian ia memperhatikan gejala-gejala di angkasa, dan karena tertarik oleh
keaneka-ragaman yang terdapat pada alam, maka ia berusaha untuk menemukan
keseragaman pada kesemuanya.
Akhirnya, ia memastikan bahwa
dibalik keanegaraman tentu ada keseragaman (kesatuan) dan kekuatan yang
tersembunyi dan yang ganjil, suci dan tidak terlihat. Ia menyebutnya “sebab
pertama” atau “pencipta dunia”. Kemudian ia merenungkan dirinya sendiri dan
alat yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian arah penyelidikannya
berubah menjadi perenungan terhadap dirinya sendiri. Akhirnya ia menemukan
unsur-unsur pertama atau substansi pertama, susunannya benda, bentuk, dan
akhirnya jiwa dan keabadiannya.
Dengan memperhatikan aliran air dan
menyusuri sumbernya sampai kepada suatu sumber air yang memancar dan melimpah
sebagai sungai, maka ia terbimbing untuk mengatakan bahwa manusia juga mesti
mempunyai satu sumber bersama.
Selanjutnya hay bin yaqadhan
merenungkan tentang langit, gerak bintang-bintang, peredaran bulan dan
pengaruhnya atas bumi. Ia kemudian menentukan garis pemikirannya sendiri, dan
menjauhi pembunahan hewan-hewan, kemudian ia sudah puas dengan makan
buah-buahan yang sudah masak dan tumbuh-tumbuhan dan hanya dalam keadaan
terpaksa saja ia memakan daging hewan.
Dari sini ia beralih dari sekedar
pengamat terhadap alam menjadi seorang yang mencari tuhan, dan sebagai ganti
dari mencari pengetahuan dengan melalui dalil-dalil dan kesimpulan-kesimpulan
logika, atau dengan perkataan lain, pengetahuan obyektif, kemudian ia tenggelam
dalam perenungan rohani. Ia memandang keseluruhan alam semesta sebagai pantulan
(refleksi) dari satu tuhan, dan selanjutnya ia senang melakukan
ekstasi(bersemedi).
Di dekat pulau yang didiaminya itu,
terdapatlah suatu pulau lain dan seorang pandai bernama absal yang secara
kebetulan berkunjung ke pulau ke pulau tempat kediaman hay. Ia bertemu dengan
hay dan mengajarkan bahasa terhadapnya.
Ketika dua orang tersebut
memperbandingkan pikirannya masing-masing, dimana yang satu murid dari alam
sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah
keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[2]
Cerita hayy bin yaqdhan dimulai
dari sebuah pulau yang telah lama tinggal dilaut hindia. Pengarangnya
menjadikan hayy bin yaqdhan tumbuh dipulau yang sunyi sebagai seorang anak
yatim piatu yang berhubungan hidup dengan alam, lalu datang kepada dassar-dasar
yang terarah dari peradaban dan pengetahuan mengenai alam dan tuhan. Hanyalah
dalam umur tua yang sudah siap memiliki pandangan dunia yang sempurna, yang
kekal diperkenalkan melalui cerita absal sebagai wazir dari raja salaman, raja
dari suatu kepulauan yang ada penduduknya, dengan agama yang dibentang luas,
dan dengan mengakui identitas dari dasar prinsip mereka. Tetapi raja salaman
tidak cakap meningkatkan dirinya kepada tingkat kepercayaan hayy dan absal.
Akhirnya mereka kembali ke pulau terpencil yang pertama, dimana mereka dapat
mencurahkan seluruh hidupnya kepada renungan beribadat kepada tuhan.[3]
C. Kebenaran dari Kisah Hayy Bin Yaqdhan
Dari keringkasan isi cerita
tersebut dari rumusan-rumusan dibalik cerita tersebut, sebenarnya ibnu thufail
hendak mengemukakan kebenaran-kebenaran berikut ini seperti yang disimpulkan
oleh nadhim al-jisr dalam buku qissat
al-iman:
1.
Urut-urutan
tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek
inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2.
Tanpa
pengajaran dan petunjuk akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan
melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya dab menegakkan dalil-dalil atas
wujudnya itu.
3.
Akal
manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam
mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an
mutlak, ketidak akhiran, zaman, qadim, huduts(baru) dan hal-hal lain yang
sejenis dengan itu.
4.
Baik
akal menguatkan qadimnya alam atau kebaharuannya namun kelanjutan dari
kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya tuhan
5.
Manusia
dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak
yang bersifat amali dan kemasyarakatan serta berhiaskan diri dengan keutamaan
dasar akhlak tersebut disamping menundukkan keinginan-keinginan badan kepada
hukum pikiran tanpa melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama sekali
6.
Apa
yang diperintahkan syariat islam dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat
dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu
kedua-duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi
7.
Pokok
dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan
pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya tanpa membuka
kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala
kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar