Sabtu, 21 Maret 2015

IBNU THUFAIL (Kisah Hayy Bin Yaqdhan)

Posted by: Siti Zaenab
22 Maret 2015

IBNU THUFAIL
(Kisah Hayy Bin Yaqdhan)


A.      Riwayat Hidup dan Karyanya
Ibnu Thufail terkenal dengan filosof muslim yang gemar menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui kisah-kisah yang ajaib dan penuh dengan kebenaran. Ia adalah Abu Bakar Muhammad Bin Abdul Malik Bin Thufail, dilahirkan di wadi asy dekat granaa, pada tahun 506 H/1110 M. Kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersebut dan berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’qub Yusuf Al-Mansur, khalifah kedua dari daulat muwahhidin. Dari al-mansur ia mendapatkan kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada masanya di khalifah itu, diantaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari ibnu thufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada ibnu rusyd. Akan tetapi karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja yaitu hay bin yaqadhan, yang merupakan intisari dari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.[1]

B.     Kisah Hay Bin Yaqadhan
Seorang anak tinggal sendirian di suatu pulau, yaitu hay bin yaqadhan, disusui dan diasuh seekor rusa. Ketika ia sudah besar, ia mempunyai hasrat yang kuat untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya. Ia menyadari bahwa hewan-hewan mempunyai pakaian alami dan alat pertahanan bagi dirinya, sedang ia telanjang dan tidak bersenjata. Oleh karena itu ia menutupi dirinya pertama-tama dengan kulit-kulit hewan yang sudah mati, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri. Lambat laun ia mengenal kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain, mengetahui cara memakai api, manfaat bulu, tahu menenun dan akhirnya membangun gubug sebagai tempat berteduhnya.
Dalam pada itu rusa pengasuhnya semakin lama semakin tua dan lemah, kemudian mati. Pikiran manusia yang serba hendak tahu ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu. Untuk itu ia membedah salah satu bagian tubuh hewan tersebut, dan dengan cermatnya ia menyelidiki bagian-bagian tubuhnya. Kemudian ia berkesimpulan bahwa jantung merupakan pusat bagi anggota-anggota tubuh.
Sesudah itu, ia mempelajari bahan-bahan logam, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang terdapat dipulau kediamannya, mempelajari suaranya yang bermacam-macam dan menirunya pula. Kemudian ia memperhatikan gejala-gejala di angkasa, dan karena tertarik oleh keaneka-ragaman yang terdapat pada alam, maka ia berusaha untuk menemukan keseragaman pada kesemuanya.  
Akhirnya, ia memastikan bahwa dibalik keanegaraman tentu ada keseragaman (kesatuan) dan kekuatan yang tersembunyi dan yang ganjil, suci dan tidak terlihat. Ia menyebutnya “sebab pertama” atau “pencipta dunia”. Kemudian ia merenungkan dirinya sendiri dan alat yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian arah penyelidikannya berubah menjadi perenungan terhadap dirinya sendiri. Akhirnya ia menemukan unsur-unsur pertama atau substansi pertama, susunannya benda, bentuk, dan akhirnya jiwa dan keabadiannya.
Dengan memperhatikan aliran air dan menyusuri sumbernya sampai kepada suatu sumber air yang memancar dan melimpah sebagai sungai, maka ia terbimbing untuk mengatakan bahwa manusia juga mesti mempunyai satu sumber bersama.
Selanjutnya hay bin yaqadhan merenungkan tentang langit, gerak bintang-bintang, peredaran bulan dan pengaruhnya atas bumi. Ia kemudian menentukan garis pemikirannya sendiri, dan menjauhi pembunahan hewan-hewan, kemudian ia sudah puas dengan makan buah-buahan yang sudah masak dan tumbuh-tumbuhan dan hanya dalam keadaan terpaksa saja ia memakan daging hewan.
Dari sini ia beralih dari sekedar pengamat terhadap alam menjadi seorang yang mencari tuhan, dan sebagai ganti dari mencari pengetahuan dengan melalui dalil-dalil dan kesimpulan-kesimpulan logika, atau dengan perkataan lain, pengetahuan obyektif, kemudian ia tenggelam dalam perenungan rohani. Ia memandang keseluruhan alam semesta sebagai pantulan (refleksi) dari satu tuhan, dan selanjutnya ia senang melakukan ekstasi(bersemedi).
Di dekat pulau yang didiaminya itu, terdapatlah suatu pulau lain dan seorang pandai bernama absal yang secara kebetulan berkunjung ke pulau ke pulau tempat kediaman hay. Ia bertemu dengan hay dan mengajarkan bahasa terhadapnya.
Ketika dua orang tersebut memperbandingkan pikirannya masing-masing, dimana yang satu murid dari alam sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[2]
Cerita hayy bin yaqdhan dimulai dari sebuah pulau yang telah lama tinggal dilaut hindia. Pengarangnya menjadikan hayy bin yaqdhan tumbuh dipulau yang sunyi sebagai seorang anak yatim piatu yang berhubungan hidup dengan alam, lalu datang kepada dassar-dasar yang terarah dari peradaban dan pengetahuan mengenai alam dan tuhan. Hanyalah dalam umur tua yang sudah siap memiliki pandangan dunia yang sempurna, yang kekal diperkenalkan melalui cerita absal sebagai wazir dari raja salaman, raja dari suatu kepulauan yang ada penduduknya, dengan agama yang dibentang luas, dan dengan mengakui identitas dari dasar prinsip mereka. Tetapi raja salaman tidak cakap meningkatkan dirinya kepada tingkat kepercayaan hayy dan absal. Akhirnya mereka kembali ke pulau terpencil yang pertama, dimana mereka dapat mencurahkan seluruh hidupnya kepada renungan beribadat kepada tuhan.[3]

C.    Kebenaran dari Kisah Hayy Bin Yaqdhan
Dari keringkasan isi cerita tersebut dari rumusan-rumusan dibalik cerita tersebut, sebenarnya ibnu thufail hendak mengemukakan kebenaran-kebenaran berikut ini seperti yang disimpulkan oleh nadhim al-jisr  dalam buku qissat al-iman:
1.         Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2.         Tanpa pengajaran dan petunjuk akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya dab menegakkan dalil-dalil atas wujudnya itu.
3.         Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak akhiran, zaman, qadim, huduts(baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4.         Baik akal menguatkan qadimnya alam atau kebaharuannya namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya tuhan
5.         Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut disamping menundukkan keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran tanpa melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama sekali
6.         Apa yang diperintahkan syariat islam dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi
7.         Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.[4]  



[1] Drs. Sudarsono, filsafat islam, (jakarta:rineka cipta, 2010), cet. 3,h. 80
[2] Ahmad hanafi, pengantar filsafat islam, (jakarta:bulan bintang, 1996), cet. 6,h.162
[3] Drs. Sudarsono, filsafat islam ...,h. 83
[4] Ahmad hanafi, pengantar filsafat islam ...,h. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar