Sabtu, 21 Maret 2015

Makalah Zun an-Nun Al- Misri

ZUN AN-NUN AL-MISRI

Published: Yenti Susanti
22 Maret 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam mengkaji ma’rifah akan diarahkan pada empat hal. Pertama, mengenai pengertian, tujuan, dan kedudukannya. Kedua, alat untuk mencari ma’rifah. Ketiga, tokoh yang mengembangkan ma’rifah dan pandangannya. Keempat, ma’rifah dalam pandangan al-Quran dan hadits.
Salah satu tokoh yang menegembangkan ma’rifah yaitu Zun an-Nun al-Misri. Beliau dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. Walaupun istilah ma’rifah sudah dikenal sebelum beliau.  Namun pengertian ma’rifah versi akhlak tasawuf barulah dikenal dengan munculnya Zun an-Nun al-Misri.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Zun an-Nun al-Misri ?
2.      Apa pengertian hakikat hijab dan ma’rifah ?
3.      Apa pemikiran Zun an-Nun al-Misri tentang ma’rifah ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Dzun An-Nun Al-Mishri
Dzun An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir tahun 180 H / 796 M dan meninggal pada tahun 246 H / 856 m.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi sudah banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini yang menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayatt hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lain. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya di antaranya: Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang yang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukkan tasawuf.[1]
Jasa Dzun An-Nun Al-Mishri yang paling besar adalah ajaran yang menetapkan adanya maqamat dan ahwal dalam menuju ma’rifah. Maka sejak munculnya Al-Mishri berkembanglah pengertian ma’rifah yang khas dalam dunia sufi dan mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah, yang kemudian dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.[2]

B.  Hakekat Hijab dan Ma’rifah
1.      Hijab
Yang dimaksud dengan Hijab disini adalah penghalang seseorang dalam proses mencari dan memahami serta menangkap makna kemurnian dan kebenaran agama secara lahir dan bathin dalam tujuan mendekatkan diri sedekat-dekatnya pada Allah.[3]
2.      Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berati pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan menurut istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.[4]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Menurut Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.[5]

C.  Pemikiran Dzun An-Nun Al-Mishri tentang ma’rifah
Dalam tasawuf, Dzun An-Nun Al-Mishri dipandang sebagai bapak ma’rifah. Dzun An-Nun Al-Mishri merupakan pelopor paham ma’rifah. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nucholson dan Abd. Al-Qadir dalam falsafah Al-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang ma’rifah dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara ma’rifah sufiyah dan ma’rifah aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan Akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifah Al-Mishri merupakan gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun di pandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf. 
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifah pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap oleh khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangan tentang hakikat ma’rifah :
1.      Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,  mutakalimin, dan ahli balagah, tetapi ma’rifah terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah orany yang menyaksikan Allah dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2.      Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senatiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah, mereka melihat dengan pengelihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifah kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah batin yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan lewat dirinya.[6]
Ketika Dzun An-Nun Al-Mishri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan ia menjawab: “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.” Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan mengabdikan diri sebagai Hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah.[7]
Dzun An-Nun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1.      Pengetahuan untuk seluruh muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam katagori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum dapat disebut ma’rifah, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan ketiga baru disebut dengan ma’rifah. Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Sementara para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masihh menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat ma’rifah. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud menggambarkan sistematiak Al-Mishri sebagi berikut:
1.      Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Mishri menjawab: “ orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
2.      Al- Mishri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah. Jalan ini harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar dan thariq al-ithiba. Jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang kecuali urusan Allah semata.
3.      Di sisi lain, Al-Mishri menyatakan bahwa manusia tersiri atas dua macam yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan ma’rifat.[8]
Dzun An-Nun Al-Mishri cenderung mengkaitkan ma’rifah dengan syariah, sebagaimana katanya: “Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifah tidak memudarkan cahaya sifat wara’nya, secara batiniyah tidak memegangi ilmu yang menyangkal ilmu lahiriah dan banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.” Bahkan lebih jauh lagi, menurutnya seorang arif semakin khusyu setiap kali pengenalannya terhadap Allah semakin meningkat, sebagimana katanya: “ Seorang arif setiap harinya tentu semakin khusyu, sebab setiap saat dia semakin dekat dengan-Nya.
Disamping Dzun An-Nun Al-Mishri membahas paham ma’rifah, dia juga membahas tentang paham Cinta, tobat dan lain-lain. Paham cinta, kalau cinta Rabiah kepada Allah , Dzun An-Nun Al-Mishri justru menempatkan cinta Rasulullah SAW sejajar dengan cintanya kepada Allah SWT. Di antara ucapan-ucapannya adalah: “sebagian dari tanda-tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah (Nabi Muhammad SAW) di dalama akhlaknya, perbuatan dan sunnahnya. Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4 yaitu:
1.      Mencintai Allah Yang Maha Agung
2.      Menjauhi yang sedikit dunia
3.      Mengikuti Al-Qur’an
4.      Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada maksiat)[9]



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
2.    Dzun An-Nun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
4.      Pengetahuan untuk seluruh muslim
5.      Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
6.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
3.    Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4 yaitu:
5.      Mencintai Allah Yang Maha Agung
6.      Menjauhi yang sedikit dunia
7.      Mengikuti Al-Qur’an
8.      Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada maksiat)



                                                                                      





[1] Rasihon Anwar, Akhlak Tasawuf, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009 ), h.144
[2] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra Utara : IAIN Sumut, 1982), hlm. 72.
[3] http://zulheimymaamor.blogspot.com/2013/02/pengertian-hijab-dalam-islam.html
[4] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 128.
[5]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), h. 221
[6] Rasihon Anwar, Akhlak Tasawuf, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009 ), h.147
[7] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), h.227
[8] Rasihon Anwar, Akhlak Tasawuf, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009 ), h.148
[9] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 282
                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar