ZUN AN-NUN AL-MISRI
Published: Yenti Susanti
22 Maret 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mengkaji ma’rifah akan diarahkan pada empat hal.
Pertama, mengenai pengertian, tujuan, dan kedudukannya. Kedua, alat untuk
mencari ma’rifah. Ketiga, tokoh yang mengembangkan ma’rifah dan pandangannya.
Keempat, ma’rifah dalam pandangan al-Quran dan hadits.
Salah satu tokoh yang menegembangkan ma’rifah yaitu Zun
an-Nun al-Misri. Beliau dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. Walaupun
istilah ma’rifah sudah dikenal sebelum beliau.
Namun pengertian ma’rifah versi akhlak tasawuf barulah dikenal dengan munculnya
Zun an-Nun al-Misri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Zun
an-Nun al-Misri ?
2.
Apa pengertian hakikat
hijab dan ma’rifah ?
3.
Apa pemikiran Zun an-Nun
al-Misri tentang ma’rifah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Dzun An-Nun Al-Mishri
Dzun An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang
tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga hijriyah. Nama lengkapnya adalah Abu
Al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. Ia dilahirkan di Ikhmim,
dataran tinggi Mesir tahun 180 H / 796 M dan meninggal pada tahun 246 H / 856
m.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya
sebagai seorang sufi sudah banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan
hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi
berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz,
Syiria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini yang
menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada
masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan
guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia
pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayatt hadis dari
Malik, Al-Laits, dan lain-lain. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya di
antaranya: Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf
adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Hal ini memungkinkan baginya
untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi
ia adalah orang yang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat
tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal
dan maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukkan tasawuf.[1]
Jasa Dzun An-Nun Al-Mishri yang paling besar adalah ajaran yang
menetapkan adanya maqamat dan ahwal dalam menuju ma’rifah. Maka sejak munculnya
Al-Mishri berkembanglah pengertian ma’rifah yang khas dalam dunia sufi dan
mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah,
yang kemudian dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.[2]
B.
Hakekat Hijab dan Ma’rifah
1.
Hijab
Yang
dimaksud dengan Hijab disini adalah penghalang seseorang dalam proses mencari
dan memahami serta menangkap makna kemurnian dan kebenaran agama secara lahir
dan bathin dalam tujuan mendekatkan diri sedekat-dekatnya pada Allah.[3]
2.
Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berati pengetahuan atau pengalaman.
Sedangkan menurut istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan
jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.[4]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Menurut Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari
dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan
demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifat ini adalah mengetahui
rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.[5]
C.
Pemikiran Dzun An-Nun Al-Mishri tentang ma’rifah
Dalam tasawuf, Dzun An-Nun Al-Mishri dipandang sebagai bapak
ma’rifah. Dzun An-Nun Al-Mishri merupakan pelopor paham ma’rifah. Penilaian ini
sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang
kemudian dianalisis Nucholson dan Abd. Al-Qadir dalam falsafah Al-Shufiyyah
fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang ma’rifah
dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara ma’rifah sufiyah dan
ma’rifah aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan
para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan Akal yang biasa digunakan para
teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah
qalbiyah (penyaksian hati) sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifah Al-Mishri merupakan gnosisme ala
Neo-Platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menuju
teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun di pandang sebagai orang yang
pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifah pada mulanya sulit
diterima oleh kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq.
Karena itu pula, ia ditangkap oleh khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan.
Berikut ini beberapa pandangan tentang hakikat ma’rifah :
1.
Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin, bukan pula
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,
mutakalimin, dan ahli balagah, tetapi ma’rifah terhadap keesaan Tuhan
yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah orany yang
menyaksikan Allah dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak
dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2.
Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali
dengan cahayanya. Senatiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, mereka
berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah, mereka melihat
dengan pengelihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifah kepada
Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian,
tetapi dengan jalan ma’rifah batin yakni Tuhan menyinari hati manusia dan
menjaganya dari kecemasan sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai
arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan
terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang
dimiliki Tuhan sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan lewat
dirinya.[6]
Ketika Dzun An-Nun Al-Mishri ditanya bagaimana ia memperoleh
ma’rifah tentang Tuhan ia menjawab: “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan
sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.” Ungkapan tersebut
menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui
pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung
pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut
dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan, dan
ketaatan mengabdikan diri sebagai Hamba Allah dalam beramal secara lahiriah
sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah.[7]
Dzun An-Nun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi
tiga macam yaitu:
1.
Pengetahuan untuk seluruh muslim
2.
Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3.
Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum
dimasukkan dalam katagori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum
dapat disebut ma’rifah, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan
ketiga baru disebut dengan ma’rifah. Dari ketiga macam pengetahuan tentang
Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya adalah yang paling
tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Sementara para
ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masihh menggunakan
akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan
kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri
tentang jalan menuju tingkat ma’rifah. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud
menggambarkan sistematiak Al-Mishri sebagi berikut:
1.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Mishri
menjawab: “ orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha
untuk mengenal-Nya.”
2.
Al- Mishri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam,
yaitu thariq al-inabah. Jalan ini harus dimulai dengan meminta dengan cara
ikhlas dan benar dan thariq al-ithiba. Jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang kecuali urusan Allah semata.
3.
Di sisi lain, Al-Mishri menyatakan bahwa manusia tersiri atas dua
macam yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan
iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan
ma’rifat.[8]
Dzun An-Nun Al-Mishri cenderung mengkaitkan ma’rifah dengan
syariah, sebagaimana katanya: “Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya
ma’rifah tidak memudarkan cahaya sifat wara’nya, secara batiniyah tidak
memegangi ilmu yang menyangkal ilmu lahiriah dan banyaknya karunia Allah tidak
menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.” Bahkan lebih jauh lagi,
menurutnya seorang arif semakin khusyu setiap kali pengenalannya terhadap Allah
semakin meningkat, sebagimana katanya: “ Seorang arif setiap harinya tentu
semakin khusyu, sebab setiap saat dia semakin dekat dengan-Nya.
Disamping Dzun An-Nun Al-Mishri membahas paham ma’rifah, dia juga
membahas tentang paham Cinta, tobat dan lain-lain. Paham cinta, kalau cinta
Rabiah kepada Allah , Dzun An-Nun Al-Mishri justru menempatkan cinta Rasulullah
SAW sejajar dengan cintanya kepada Allah SWT. Di antara ucapan-ucapannya
adalah: “sebagian dari tanda-tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih
Allah (Nabi Muhammad SAW) di dalama akhlaknya, perbuatan dan sunnahnya. Menurut
Dzun An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4 yaitu:
1.
Mencintai Allah Yang Maha Agung
2.
Menjauhi yang sedikit dunia
3.
Mengikuti Al-Qur’an
4.
Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada maksiat)[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Ma’rifat
adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari.
Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifat ini adalah mengetahui
rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
2.
Dzun
An-Nun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
4.
Pengetahuan untuk seluruh muslim
5.
Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
6.
Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
3.
Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4
yaitu:
5.
Mencintai Allah Yang Maha Agung
6.
Menjauhi yang sedikit dunia
7.
Mengikuti Al-Qur’an
8.
Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada maksiat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar