Sabtu, 21 Maret 2015

ABDUL KARIM AMRULLAH

Posted: Siti Zaenab
22 Maret 2015


ABDUL KARIM AMRULLAH

A.      Biografi Abdul Karim Amrullah
Haji Abdul Karim Amrullah, yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul.[1] Ia lahir di daerah Sungai Batang Maninjau Minangkabau pada tanggal 10 Februari 1879. Meningggal di Jakarta, Sabtu tanggal 21 Jumadil Awal 1364H/2 Juni 1945. [2]Beliau adalah putra dari Muhammad Amrullah, dan ibunya bernama Andung Tarawas. Dilihat dari silsilah ini, Abdul Karim Amrullah masih keturunan ulama besar, sebab Syaikh Muhammad Amrullah adalah ulama yang sangat berpengaruh di Minangkabau.
Gelar yang disandangnya adalah Fakih Kisai karena kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an. Beliau juga seorang syaikh tarekat Naqsyabandiyah, ahli tafsir, fiqih, tasawuf dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Oleh karena kedudukannya yang tinggi itu, maka dia mendapat gelar Syaikh Nan Tuo.
Abdul Karim Amrullah sejak kecil diberi nama Muhammad Rasul, dan setelah menunaikan ibadah haji namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah dan nama inilah yang paling dikenal. Sebagai putra Syaikh Nan Tuo, kedatangan Abdul Karim Amrullah disambut dengan kegembiraan oleh masyarakat setempat dan diberi gelar Syaikh Nan Mudo sebagai penghargaan atas keberhasilannya menuntut ilmu di tanah suci. Tidak berapa lama, mengingat telah memasuki usia dewasa lalu dinikahkan dengan Raihanah binti Haji Zakaria. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putri bernama Fatimah.
Baru beberapa lama tinggal di kampung halamannya, beliau diperintahkan oleh ayahnya untuk mengantar adik-adiknya (Abdul Wahab, Muhammad Nur dan Muhammad Yusuf) untuk belajar di kota suci Makkah Mukarromah. Dalam pertemuan ini Abdul Karim Amrullah disarankan untuk mengajarkan ilmu pengetahuannya dan jadilah beliau sebagai guru muda di kota Makkah. Dikota ini, istrinya meninggal dunia, dan setelah sekitar 5 tahun tinggal di kota suci ini beliau pulang ke tanah air. Sesampainya di tanah air, beliau menikah lagi dengan seorang gadis bernama Hindun. Dengan istri yang kedua ini beliau mendapat beberapa putra dan beberapa diantara mereka itu meninggal dunia.
Hanya putra yang bungsu bernama Abdul Wahablah yang masih hidup, dan istri yang kedua ini pun meninggal dunia. Untuk mengasuh putranya itu, beliau menikah yang ketiga kali dengan Syafiyah, yakni adik istri yang pertama. Dari pernikahan ini beliau dianugerahi 4 orang anak yakni, Abdul Malik (Hamka), Abdul Kudus, Asma, dan Abdul Mu’ti. Dari istrinya yang bernama Rafi’ah binti Sutan Palembang, beliau dikaruniai putra-putri Abdul Bari, Dariyah, Salimah, Dalimah, Upik Japang, Saerah, Gadis, Latifah dan Fatimah. Sejak kepulangannya yang kedua dari Makkah, beliau menetap di kampung halamannya, sungai Batang Maninjau. Di tanah kelahirannya inilah beliau mengajarkan ilmu pengetahuan Islam dengan nuansa baru kepada masyarakat. Dengan kemasyhurannya sebagai seorang pemuda cerdas ditambah sebagai putra dari Syaikh Nan Tuo, beliau sangat dicintai masyarakat dan murid-muridnya datang dari berbagai daerah. Di antara murid-muridnya inilah nanti yang akan meneruskan dan mengembangkan ajaran dan ilmu pengetahuan lebih lanjut. Mereka itu antara lain : Abdul Hamid Hakim, Zainuddin Labai El-Yunusi, Haji Abbas Datuk Tunaro, H. Yusuf Amrullah, A.R. Sutan Mansyur, Haji Jalaluddin Thalib, Haji Mukhtar Luthfi, Hasim El Husni Adam Balai-Balai, Rahmah El-Yunusiyah, Rasuna Said, Hamka, dan lain-lain. Oleh karena dalam pembelajarannya itu membawa nuansa baru dan didukung oleh kalangan muda, maka beliau mendapat julukan Kaum Muda.
Di samping itu, perjuangan Abdul Karim Amrullah juga mendapat dukungan dari beberapa sahabatnya sesama kaum muda antara lain : Haji Abdul Ahmad, Syaikh Jamil Jambek, Syaikh Muhammad Thaib Umar, Syaikh Daud Rasyid, Syaikh Ibrahim Bin Musa Parabek, Syaikh Abbas Abdullah, Syaikh Mustofa, Haji Abdullatif, dan lain-lain. Namun demikian, ide pembaharuannya juga mendapat tantangan dari ulama-ulama lain terutama ulama tua yang kemudian disebut sebagai Kaum Tua. Mereka itu antara lain : Syaikh Saad Mungka, Syaikh Khatib, Sulaiman Ar-Rasuli, Syaikh M. Zain Simabur, dan Syaikh H. Jamil Joho.[3]


B.       Pendidikan Abdul Karim Amrullah
Sebagai seorang keturunan ulama besar, beliau hidup pada iklim pendidikan keagamaan.Pada usia 10 tahun, beliau belajar Al-Qur’an kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Faqih Samnun di Sibalantai. Setahun kemudian, dia pulang dan belajar menulis huruf Arab kepada Adam, anak Tuanku Said. Kemudian pada usia 13 tahun, beliau belajar ilmu nahwu, sharaf kepada ayahnya sendiri. Setahun kemudian, yakni pada usia 14 tahun dia diantarkan ke Sungai Rotan Pariaman untuk belajar kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Di sini dia memperdalam Kitab Minhajut Thalibin dan Tafsir Jalalain.
Untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam, oleh ayahnya dia dikirim ke kota suci Mekkah Mukaromah di usia yang 16 tahun. Dia belajar di Mekkah selama 7 tahun kepada Syaikh Ahmad Khatib dan ulama-ulama terkenal lain, seperti Syaikh Thair Jalaluddin, Syaikh Abdullah Jamidin, Syaikh Usman Serawaaak, Syaikh Umar Bajened, Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Hamid Jeddah, Syaikh Sa’id Yaman, dan Syaikh Yusuf Nabhani. Setelah dirasa cukup mendapatkan ilmu-ilmu pengetahuan Islam dari berbagai bidang dan dari berbagai ulama besar itu, beliau pulang ke tanah air bersama teman-temannya pada tahun 1901 setelah diberi ijazah oleh gurunya, yakni Syaikh Ahmad Khatib. Saat itu beliau telah memasuki usia dewasa, yakni 23 tahun.[4]

C.      Karya-karya Abdul Karim Amrullah
Karya-karya Abdul Karim Amrullah bisa dilihat dari buku-buku dan tulisan-tulisannya yang pernah ditulisnya. Beliau juga berperan dalam penerbitan terutama penerbitan majalah Al-Imam yang terbit tahun 1906 di bawah pimpinan Muhammad Kalah dan Majalah Al-Munir yang dipimpin oleh Haji Abdullah Ahmad (terbit 1911). Di majalah Al-Imam, Abdul Karim Amrullah duduk sebagai wakil untuk wilayah Negeri Danau Sumatra dan di majalah Al-Munir beliau duduk sebagai penanggung jawab rubrik agama Islam. Kesibukan beliau juga masih ditambah dengan perannya sebagai perintis penerbitan majalah Al-Ittafaq dan Almanak Lima Guna sebagai majalah PGAI. Dalam penerbitan buku ditunjukkannya bahwa beliau adalah seorang pengarang yang produktif pada saat itu, yang menurut cerita telah terbit 27 judul buku yang merupakan hasil karya beliau. Buku pertama kali yang diterbitkannya pada tahun 1908 berjudul ‘Amdatul Anam Fi Ilmil Kalam yang membahas 20 sifat Allah, lalu di susul buku-buku lain, yakni Qatthi’u Riqabil Mulhidin (1910) berisi bantahan terhadap tarikat Naqsabandiyah, Syamsul Hidayat (1912) berisi syair-syair nasihat dan tasawuf, Sullamul Ushul (1914) berisi tentang ushul fiqh, Aiqazum Niam (1916) berisi pernyataan bahwa berdiri pada upacara maulid adalah Bid’ah, Alfawaidul ‘Aliyah (1916) berisi uraian bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, Mursidit Tujar (1916) berisi syair pedoman orang berniaga, pertimbangan adat Minangkabau (1918), Dienullah (1918), Pembuka Mata (1919), Al-Ifsah (1919) berisi uraian tentang nikah, Sendi Aman Tiang Selamat terdiri dari 2 jilid (1922), Al-Burhan (1922) berupa Tafsir Juzz ‘Amma, Kitabur Rahmah (1922) berisi uraian puasa menurut empat madzhab, Al-Qaulush Sahih (1923) berisi bantahan terhadap Ahmadiyah. Buku-buku tersebut ditulis sebelum beliau pergi ke Mesir. Setelah beliau datang dari Mesir, lalu menulis buku lagi yakni Cermin Terus (1928) berisi tidak setujuannya wanita berpidato di depan umum, Annida (1929) berisi uraian tentang wajibnya shalat berjamaah, Pelita terdiri 2 jilid (1930-1931), Pedoman Guru (1930), Al-Faraid (1932), Al-Bashair (1938), Al-Misbah (1938) Asy-Syi’ah (1938) berisi tentang qunut subuh, Al-Kawakibud Durriyah (1940) berisi bantahan terhadap pendapat bahwa khutbah dengan bahasa indonesia haram hukumnya, Hanya Allah (1943) berisi bantahan terhadap kepercayaan bangsa Jepang, Al-Ihsan serta membantah Islam dan Kebangsaan.[5]

D.      Pemikiran Abdul Karim Amrullah
1.         Tauhid
Gagasannya tentang Tauhid bisa dilihat dari peristiwa Seikerei. Salah satu kepercayaan orang Jepang adalah Tenno Heika yang merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus disembah oleh bangsa Jepang dan semua bangsa yang mereka jajah, terutama di Asia Timur sebelum Perang Dunia II. Penyembahan Tenno Heika pada waktu itu dikenal dengan Seikerei, atau membungkuk ke arah istana kekaisaran Tenno Heika, sebelah timur Pulau Jawa. Pada awal 1943, Abdul Karim Amrullah, bertindak sebagai salah seorang pemimpin rapat, bersama dengan 59 pemimpin agama lainnya di Pulau Jawa. Rapat ini dilangsungkan di Bandung dan ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang duduk di atas panggung. Selama Seikerei ia adalah satu-satunya orang yang tetap duduk. Hal ini dianggap sebagai tantangan terbuka terhadap Jepang. Hamka menceritakannya sebagai berikut:
Semuanya, benar-benar semuanya berdiri. Seorang meneriakkan perintah, Seikerei. Semuanya menundukkan kepala ke arah Istana. Semua orang Muslim yang baik, berpakaian sorban dan jubah....semuanya memberi hormat. Hanya satu pria bertubuh kecil, yang sorotan matanya penuh keyakinan agama dan dengan hati baja... dia satu-satunya yang tetap duduk, dan tidak ambil bagian dalam upacara... orang itu ialah Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Ia melakukan hal itu walaupun dikelilingi orang Jepang, yang masing-masing mengenakan pedang panjang.[6]

Beberapa menit setelah upacara Seikerei usai, ia mengatakan: “Menganut dan memelihara suatu kepercayaan tidak selamnya mengundang bahaya, selama kita beribadah kepada Tuhan. Jangan hanya memikirkan bahaya dari apa yang telah anda lakukan atau apa yang akan anda lakukan, tetapi juga harus memikirkan manfaat yang akan dipetik dari kelakuan anda. Apakah anda tidak mengamati apa yang baru saja aku lakukan? Walaupun aku tetap duduk pada acara Seikerei, tidak berarti aku melawan pemerintah tentara Jepang, tetapi karena aku menaati perintah Tuhanku. Allah melarangku untuk melakukan ruku’ terhadap sipapun kecuali terhadap Dia. Seperti yang anda lihat sekarang, Tuan Kolonel Horie (Kepala Departemen Urusan Agama pada pendudukan tentara Jepang di Indonesia) tidak mengecewakanku. Karena aku telah memegang teguh perintah agamaku, sama seperti dirinya yang menunjukkan kesetiaan terhadap agamanya.”
Peristiwa di atas menunjukkan betapa kuat keyakinan agama Abdul Karim Amrullah. Ia menunjukkan sikap keislaman yang benar, serta kepercayaannya yang kuat akan Yang Maha Esa, menantang “kekaisaran para penyembah dewa”. Bagi dia, Tuhan adalah yang tunggal, yang kepada-Nya lah manusia harus menyerahkan seluruh hidupnya, tidak kepada raja, presiden, atau kaisar dari segala kaisar. Sejak kejadian di atas, Jepang terpaksa menyerah pada pendapatnya agar tidak menghancurkan jerih payah yang telah dicapai para pemimpin Muslim. Kaum muslim akhirnya berhak untuk tidak melakukan Seikerei sebelum memulai pertemuan-permuan agama.[7]


2.         Hukum Waris Adat
Haji Abdul Karim Amrullah menegaskan bahwa hukum waris Islam (al-fara’id) harus dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau dan bukannya hukum waris adat berasal dari leluhur Minangkabau yang menganut ajaran Budha. Bagi dia tidak ada tawar menawar dan kompromi dalam menerapakan hukum Islam, hukum Islam tidak dapat dicampur dengan ajaran-ajaran atau doktrin lain. Praktek-praktek Islam, katanya harus dibersihkan dari segala jenis penyimpangan. Ia menegaskan bahwa hukum waris berdasarkan garis ibu, yang dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau tidak adil, karena, ayah, ibu dan anak-anak yang berhubungan erat selama hidup baik fisik maupun spiritual, tidak mewariskan apapun bila salah seorang diantaranya meninggal. Sebaliknya keponakan, yang pertalian darah jauh lebih renggang  dan tidak begitu menderita dibandingkan anak-anak atau orang tua yang wafat, ditetapkan dalam hukum waris adat sebagai pewaris tunggal yang sah dari harta paman mereka. Karena itu peraturan tidak sah ini harus dibuang.
Kemudian dia mengimbau para raja, pejabat pemerintah dan penghulu agar berusaha keras membuang tradisi-tradisi Jahiliyah sampai semuanya hilang dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Peringatan-peringatan sama juga ditujukan kepada para hakim yang mengadili semua perkara antar anggota suku, untuk memperkuat dan menerapkan hukum Islam jika ingin menemukan jawaban yang baik dan adil bagi masyarakatnya. Tanpa adanya kerja sama untuk mengubah dan menghapus peraturan-peraturan adat yang salah (hukum waris), maka kedamaian yang dicari orang Minangkabau tidak akan pernah tercapai.
Disini kita melihat bagaimana Haji Abdul Karim Amrullah menyelesaikan masalah peka, yang belum pernah dijelaskan oleh pemimpin-pemimpin agama lain didaerah itu sebelum dia. Dia tidak mau begitu saja mengikuti ajaran gurunya, Syekh Ahmad Khatib, tetapi mencoba menggunakan nalarnya sendiri dan mengeluarkan ijtihad sendiri sehingga bias diterapkan didaerah sesuai dengan keadaan masarakat.[8] 


3.         Pemikiran tentang Pendidikan.
Pemikiran tentang Abdul Karim Amrullah tentang pendidikan, bisa dilihat dari pembaharuannya di Sumatera Thawalib dari Padang Panjang  pada mulanya merupakan Madrasah tradisional di Minangkabau bernama Surau Jembatan Besi.
Pada tahun 1906, Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul, pulang dari Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar dan mengaji di suraunya di Maninjau, kampungnya sendiri. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau, berguru kepada Haji Rasul. Selama hampir dua tahun ia bolak-balik antara Padang Panjang-Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan pimpinan surau Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif Rasidi, sampai akhir hayatnya. Sementara itu Haji Rasul sendiri diminta Abdullah Ahmad untuk membantu memajukan pengajian Surau Jembatan Besi dengan cara berulang-ulang ke Padang Panjang dari Maninjau. Walaupun kesibukannya di Maninjau cukup padat, karena di samping mengajar mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaaan kaum adat, namun permintaan rekannya di atas dipenuhinya juga. Dan tidak berapa lama berulang antara Maninjau-Padang Panjang, maka Haji Rasul diminta beliau pula untuk pindah ke Padang, ke kota yang lebih ramai. Permintaan inipun dipenuhi Haji Rasul, dan pindahlah ia ke Padang mengajar dan bersama-sama Abdullah Ahmad pengasuh majalah Al-Munir.
Sementara itu, tugas bolak-balik ke Padang Panjang tetap dilakukannya, tetapi sekarang bukan dari Maninjau ke Padang Panjang lagi, melainkan antara Padang dan Pandang Panjang. Bersama-sama dengan Abdul Latif Rasyidi, pengajian Surau Jembatan Besi semakin ditingkatkannya. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh umat Islam Padang Panjang sepakat untuk menunjuk Abdul Karim Amrullah dan memimpin Surau Jembatan Besi. Ia menetap di Padang Panjang, sekaligus menjadi pemimpin tunggal Surau Jembatan Besi. Setelah Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin Surau Jembatan Besi, bertambah ramailah anak-anak yang datang dari seluruh Sumatra Barat mengaji ke surau ini. Dalam beberapa tahun saja setelah itu, Surau Jembatan Besi sudah menjadi pusat pengajian besar. Nama Haji Rasul semakin harum dan semakin tersebar luas, baik sekitar wilayah Minangkabau, maupun di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi pusat jala pumpunan ikan bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Sistem pendidikannya masih tidak berubah, tetapi isi pengajiannya sudah dikembangkan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi, berpikir bebas, membaca, memahami dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan. Anak sasian boleh bertanya dan mendebat.[9]
Perubahan pendidikan yang dilakukan Abdul Karim Amrullah adalah sebagai berikut:
a.    Kurikulum
Padang awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional, yang berkisar pada al-Qur;an dan pengajian kitab, yang meliputi Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir, dan lainnya, yang hanya terpaku pada satu kitab saja.
Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tergerak hati Abdul Karim Amrullah dan kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu yang masuk kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada kitab saja. Ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai dua belas mata pelajaran dan dengan menggunakan berbagai macam kitab. Mata pelajaran tersebut adalah:
Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, Ilmu Tauhid, Ilmu Hadis, Ilmu Musthalah Hadis, Ilmu Matiq (logika), Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, Ilmu Badi’, Ilmu Ushul Fiqih.[10]
Abdul Karim Amrullah menyusun kurikulum pendidikan Islam berdasarkan tingkat atau kelas. Sebab beliau telah menerapkan sistem klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan keadaan sebelumnya. Pendidikan yang diberikan di lembaga pendidikan Islam tidak dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau membagi murid-murid dalam kelas-kelas tertentu, sesuai dengan tingkat pendidikannya. Susunan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan saat itu adalah:
1)      Pengajian al-Qur’an
2)      Pengkajian Kitab, yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu:
a)    Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab-kitab: Arjumiah, Matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya.
b)   Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab-kitab: Sanusi, Syeikh Khalid, Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya.
c)    Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab: Kifayatul Awam, Ibnu Aqil, Mahali, Jalalain/Baidlawi dan lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan Haji Rasul di atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun ilmu yang diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan penelaahan lebih mendalam. Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah, Ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti: Idhatul Mubham, Jauhar Maknun/Talknish, Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga ditulis oleh Zainuddin Labay El-Yunusi, yang merupakan guru bantu ketika masih mengajar di Surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum pendidikannya masih murni ilmu-ilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu keislaman yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang, serta kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui.
b.         Sistem dan Metode Pembelajaran
Disamping memperbarui kurikulum pendidikan Islam yang dipandang sudah ketinggalan zaman, Abdul Karim Amrullah juga memperbaiki sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Haji Rasul adalah mengembangkan sistem klasikal dan menggunkan metode diskusi dan tanya jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid dirangsang untuk bertanya dan berdebat dengan guru.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang berkembanga dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah sistem halaqah. Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru duduk bersama-sam duduk di lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, sementara murid-murid mendengarkan, memahami dan menghafal keterangan yang diberikan oleh guru. Metode menghafal merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan agar murid dapat menghafal suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membawa berulang-ulang pada yang   disampaikan oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benar-benar melekat di kepala, walaupun tidak begitu dipahami.
Metode hafalan yang digunakan dalam sistem pendidikan Islam tradisonal (sistem surau), tidak mendorong siswa untuk aktif. Murid hanya pasif menerima materi pelajaran yang disampaikan guru dan kemudian menghafalnya. Murid tidak boleh bertanya, apalagi membantah pendapat guru, sekalipun keterangan guru itu diyakini salah. Bertanya atau berdebat dengan guru dipandang menentang atau melawan pada guru.
Metode pembelajaran seperti ini menurut Haji Rasul tidak dapat membawa pada kemajuan murid. Dengan metode demikian, murid akan berpikir sempit, sehingga tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang. Ilmu hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat memecahkan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, Haji Rasul berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat merangsang murid untuk berpikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan berorganisasi. Murid tidak hanya dituntut untuk menghafal ilmu yang diberikan, melainkan juga harus memahami, mengabstraksi, mengkontekstualisasikan dan mentransformasikan lebih jauh. Ini menunjukkan bahwa Haji Rasul mulai mengembangkan semangat ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya.
Dengan semangat baru dan etos ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan berkelas di Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi menjadi tujuh kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya. Pada tingkat permulaan, murid-murid diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Diantara asistennya yang terkenal adalah Zainudin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang diajarkan terbatas pada kitab-kitab yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-Yunusi sendiri atau oleh guru-guru lain. Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan kitab-kitab yang berasal dari Mesir di bawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru besar.
Pada mulanya kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas, yaitu kelas I, II, III, akan tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata kelas I harus dipecah menjadi empat tingkat, yaitu 1A, 1B, 1C, dan 1D. Sementara itu, kelas II harus dibagi menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas III dapat dipertajam menjadi satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B, 1C dan 1D, menjelma menjadi kelas 1,2,3, dan kelas kelas 4. Sedangkan kepada kelas 2A dan 2B menjelma menjadi kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3 menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh Haji Rasul di lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang Panjang, ternyata dapat membangkitkan motivasi yang kuat dari para muridnya untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab dan berdebat yang dikembangkannya, timbul dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri.
Murid-murid menjadi lebih kreatif, berpikir bebas dan berani mengemukakan pendapat. Dalam diri murid tertanam jiwa patriotik, sehingga tidak heran kalau akhirnya banyak dari murid dan guru Thawalib yang terjun ke lapangan politik, menentang penjajahan belanda.
c.         Organisasi Siswa
Haji Rasul memikirkan pula bagaimana supaya murid-murid terhimpun dalam organisasi. Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya organisasi yang rapi, penjajah mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi ini mulai muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Oleh sebab itu, beliau menganjurkan kepada murid-muridnya untuk membentuk sebuah organisasi.
Ketika Bagindo Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915 di padang Panjang, Haji Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk menghadiri dan mendengarkan ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang akan diberikan oleh Rasyad adalah berkaitan dengan pengalamannya ketika mengunjungi Eropa dan melihat kemajuan yag dicapai di sana. Dalam ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya berorganisasi. Menurutnya, Eropa telah mempunyai kesadaran yang tinggi dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan kegagalan. Setelah mendengar ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah keinginan dari murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk itu, disepakatilah membentuk sebuah organisassii murid-murid dengan nama Persaiyoan. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan murid dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah dan dengan pembayaran yang longgar. Sejak itulah berdiri sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu badan yang menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid sehari-hari, seperti sabun mandi dan sabun cuci. Kemudian juga disediakan buku tulis, pensil, sehingga akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan “Perkumpulan Sabun.”
Setelah perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim berusaha mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid dilengkapi. usaha ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, mencuci, setrika dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk Palimo Kayi, tahun 1918, perkumpulan sabun tersebut kemudian berubah menjadi Thuwali. Yang kemudian menjadi nama sebuah perguruan termasyhur, karena murid-murid Haji Rasul Surau Jembatan Besi umumnya berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang daerah lain di pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama Thuwalib dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thuwalib. Demikian juga dengan pengajian di Surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan Sumatera Thuwalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan Surau Jembatan Besi, guru-guru muda dan pedagang-pedagang di sekitar Padang Panjang.
d.        Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan. Pada tahun 1920 beliau melakukan pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Haji Rasul mulai menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan kitab-kitab baru, terutama bagi murid-murid kelas 7. Dikelas 7 ini kitab Bidayatul Al-Mujtahid karangan Ibnu Rusd mulai diajarkan, demikian juga kitab-kitab yang lain, seperti Ushul Al-Ma’mul, Al-Muhazzab dan sebagainya.
Menurut Taufik Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru ini sudah, mulai dilaksankan pada pertengahan tahun 1920. Murid-muid kelas rendah, disamping masih mempelajari kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya dengan buku- buku baru karangan guru-guru mereka sendiri, yaitu karangan Haji Rasul dan kawan-kawannya. Murid-murid kelas 6 dan 7, mempelajari buku-buku karangan para ulama dan filosof Islam seperti: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan sebagainya. Untuk pelajarannya Tafsir, dipakai kitab Tafsir karangan Muhammad Abduh, Al-Manar yang didatangkan dari Mesir. Mulai saat itu, Perguruan Thawalib Padang Panjang dianggap sudah menampilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam modern.
Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran baru yang hendak dituju oleh Haji Rasul melalui Perguruan Thawalib yang dipimpinnya, yaitu pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad, seterusnya membuka diri untuk menerima perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Menurut Muhammad Yunus, suatu perubahan besar dilakukan Haji Rasul dalam bidang penyediaan sarana dan prasarana belajar adalah mengganti kitab Dhammun dan Al-’Awamiul yang ditulis tangan dengan kitab-kitab yang sudah dicetak.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran Haji Rasul tidak lagi menggunakan yang banyak digunakan dalam sistem tradisional melainkan semua kitab yang dipelajari sudah dicetak. Pada mulanya kitab-kitab yang dicetak itu dibeli dari orang-orang yang kembali dari Mekkah dan Singapura. Akan tetapi, kemudian karena pemakaiannya mulai berkembang, maka toko buku kepunyaan Syeikh Ahmad Khalidi di Bukittinggi memesan langsung kitab-kitab agama tersebut ke Mesir. Kemudian diikuti oleh toko-toko buku lainnya. Sejak itu banyaklah beredar kitab-kitab agama yang datang dari Mesir, demikian juga dengan majalah-majalah yang membawa aliran baru seperti Al-Manar.
Diantara kitab-kitab yang dipakai oleh Haji Rasul adalah: Darul Fiqiah, Fiqhul Iwadih, Mu’inul Mubin/Al-Muhazzab, Bidayatul Mujtahid, Mabadi Al-Arabiyah, Durusun Nahwiyah, Qawaidul Lughah Al-Arabiyah, Bahwu Wadih, Balaghah Wadhi/Jawahirul Balaghah, Durusun Lugah Al-Arabiyah, Mutalaah Hadisah, Qiraatur Rasyidah, Nuhadasah Arabiyah, Durusut Tauhid/Jwahir Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, Reisaltut Taudhi, Khazin, Tafsir Muhammad Abduh, Hadis Arbain/Jawahirul Bukhari, Muhalah Hadis, Mantiqul Hadis, Muzakhirat Ushul Fiqih/As-Sullam, Albayan/Husulul Nakmul.
Memperhatikan kitab-kitab yang dipergunakan oleh Haji Rasul dalam mengajarkan kurikulum ilmu-ilmu agama kepada muridnya, jelaslah bahwa beliau telah berusaha memberikan ilmu yang dalam dan wawasan yang luas kepada muridnya. Dengan kurikulum dan kitab-kitab yang digunakan, terlihat betapa Haji Rasul berusaha menyebarkan paham-paham baru dalam bidang pendidikan Islam. Pemakaian kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran yang hendak dituju oleh Haji Rasul, yaitu pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad serta membuka diri untuk menerima pemikiran baru dan perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Disamping itu, Haji Rasul juga memakai kitab-kitab karangannya sendiri dan karangan asistennya. Kitab-kitab karangan beliau dan asistennya ini terutama dipakai untuk kelas permulaan. Di antara asistennya yang mengarang kitab adalah:
a.       Zainuddin Labay El-Yunusi, mengarang kitab Durusul Fiqiah untuk menggantikan kitab Fathul Qarib, Kitab Mabadik Arabiah, dan lain-lain.
b.      Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, mengarang kitab: Mui’n Al-Mubin, As-Sullam, Al-Bayan, Tahzibul Akhlaq, dan lain-lain.
c.       Abdurrahim Al-Manafi, mengarang kitab: Mabadi‘ Ilmu Nahu, Mabadi‘ Ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubabul Fiqih, Al-Huda, Asasul Adab dan lain-lain.
Demikianlah beberapa pemikiran dalam sistem pendidikan Islam yang dibawa oleh Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang lebih populer pada saat itu dengan sebutan “Inyik DR” atau Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang dikembangkannya. Telah melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan berpikir, wawasan yang luas, semangat kreativitas dan sebagainya dari murid-muridnya, sehingga pada gilirannya terdorong untuk melawan penjajahan Belanda. [11]  

E.       Haji Abdul Karim Amrullah dan Muhammadiyah
Hubungan Abdul Karim Amrullah dengan Muhammadiyah sampai tahun 1916 belum terjadi hubungan langsung, kecuali melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah Al-Munir. Melalui tulusan-tulisan inilah KH. Ahmad Dahlan mengenal beliau terutama ide-ide pembaharuannya sehingga Abdul Karim Amrullah dikenal sebagai kelompok muda. Hubungan keduanya sebagai tokoh pembaharu islam di Indonesia berlangsung pada tahun 1971, yakni pada saat Abdul Karim Amrullah mengadakan perlawatan pertama kali ke Jawa. Pada kesempatan ini, beliau menyempatkan diri mampir ke Yogyakarta untuk bertemu langsung dan berdiskusi dengan KH. Ahmad Dahlan serta mengenal lebih dekat dengan pergerakan Muhammadiyah.
Pergerakan Muhammadiyah ternyata sangat mengesankan pada beliau dan setelah pulang ke kampung halamannya, beliau ceritakan segala pembaharuan Islam yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dan gerakan Muhammadiyah yang dipimpinnya. Dari pendekatan beliau pada Muhammadiyah inilah lalu beliau mendapatkan inspirasi untuk mendirikan perkumpulan “Thawalib” sebagai cikal bakal “Sumatra Thawalib” pada tahun 1918. Maka dapat dicatat bahwa sampai tahun tersebut di Sumatra belum ada Muhammadiyah.[12]
Kemudian pada tahun 1925 Abdul Karim Amrullah melakukan pelawatannya yang kedua ke Jawa untuk dua tujuan utama. Pertama, ia ingin bertemu anaknya Fatimah dan suaminya A. R. Sutan Mansur di Pakalongan. Sutan Mansur  pada waktu itu adalah pemimpin Muhammadiyah di  Pakalongan dan juga ketua Nurul Islam, organisasi pedagang asal Minangkabau di pakalongan. Kedua, Haji Abdul Karim Amrullah ingin mencari bantuan keuangan dari orang-orang Minangkabau, terutama pedagang Maninjau, untuk mendirikan sekolah agama di Sungai Batang bernama Sendi Aman.[13]
Kunjungan kali ini pun dimanfaatkan untuk mampir ke Yogyakarta sebagai basis gerakan Muhammadiyah, tapi pada kunjungan yang kedua ini, beliau tidak dapat bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah, karena KH. Ahmad Dahlan telah berpulang ke Rahmatullah. Saatu itu Abdul Malik Amrullah diterima oleh KH. Fakhruddin yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua Hoefdbestuur (HB) Moehammadiyah. Pada kunjungan kali ini Abdul Malik Amrullah telah bisa melihat hasil usaha-usaha Muhammadiyah yang berupa sekolah-sekolah, panti-panti asuhan yatim piatu, rumah sakit, rumah miskin, tempat-tempat ibadah, dan lainnya.
Dari kunjungan yang kedua inilah, beliau mendapat kesan yang dalam tentang perserikatan Muhammadiyah lalu merayakan kepada murid-muridnya untuk mendirikan Muhammadiyah di Padang Panjang. Diketahui sebelumnya bahwa sejak 1912 beliau telah pindah dari kampung halamannya di Sungai Batang Maninjau ke Padang Panjang, dan pada tahun ini pulalah secara resmi berdiri perserikatan Muhammadiyah pertama kali Sumatra Barat yang selama peresmiannya dilakukan di rumah Abdul Karim Amrullah. Kemudian dari cabang Padang Panjang inilah, Muhammadiyah dikembangkan ke seluruh wilayah Sumatrra oleh para murid beliau.
Beliau memang ikut mebidani kelahiran Sumatra Thawalib, tapi karena di dalam organisasi itu terdapat perbedaan pendapat, maka beliau cendrung mendirikan cabang Muhammadiyah dan peran sertanya semakin besar pada pengembangan perserikatan ini di Sumatra Barat. Apalagi setelah jelas diketahuinya bahwa Muhammadiyah akan menegakkan paham salaf bukan menegakkan taqlid. Perjuangan beliau itu didukung pula oleh salah seorang sahabatnya, yakni Syaikh Jamil Jambek sebagai pelindung Muhammadiyah di wilayah Sumatra Barat. Disamping itu hampir semua anggota keluarganya menjadi aktivis Muhammadiyah seperti Yusuf Amrullah, adiknya menjadi ketua Muhammadiyah di Maninjau, Hamka, anaknya menjadi konsul Muhammadiyah di medan, A.R. Sutan Mansur, menantu dan muridnya menjadi konsul Muhammadiyah di Minangkabau dan ketua PP Muhammadiyah 1950-1953.
Beliau selalu memasyarakatkan Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan dakwah keliling sumatra. Bahkan, ia sering terlibat langsung dalam konfrensi-konfrensi Muhammadiyah untuk mengangkat konsul-konsul, seperti dalam pengangkatan konsul Muhammadiyah di Bengkulu, Medan, Aceh, Tapanuli dan Riau.
Selain mengikuti konferensi-konfrensi Muhammadiyah di wilayah Sumatra, beliau juga mengikuti kongeres Muhammadiyah ke-20 pada tahun 1930 di Bukit Tinggi Sumatra Barat. Sebagai seorang tokoh, kehadirannya di dalam kongeres ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan Muhammadiyah terutama di wilayah Sumatra. Apalagi kongeres ini merupakan kongeres Muhammadiyah pertama kali yang diselenggarakan di luar Jawa.
Dalam kongeres ini terjadi perdebatan sengit antara beliau dengan beberapa tokoh muda Muhammadiyah tentang wanita berpidato di depan umum, dan dari perdebatan inilah lalu terbit buku Cermin Terus yang berisi ketidaksetujuannya tentang wanita berpidato di depan umum.
Dari kongers inilah, maka perserikatan Muhammadiyah semakin pesat perkembangannya berdirilah cabang dan ranting Muhammadiyah di Sumatra terutama di Sumatra Barat, sampai pada tahun 1939 jumlah cabang dan ranting Muhammadiyah yang terbanyak diseluruh nusantara adalah Sumatra Barat.
Pada kongeres Muhammadiyah ke-28 pada tahun 1939, beliau ikut menghadirinya dan kehadiran kali ini merupakan keterlibatan langsung dan terakhir kali dalam kongeres Muhammadiyah. Sebab setelah itu, beliau tidak lagi menghadiri berbagai kongeres Muhammadiyah karena usia dan kondisi politik kurang menguntungkan.
Satu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun beliau sangat tertarik dan mendukung gerakan Muhammadiyah, tapi sampai akhir hayatnya tidak memiliki kartu Muhammadiyah. Baginya, menjadi pendukung Muhammadiyah tidak harus ditunjukkan dengan pemilikan kartu anggota. Beliau berprinsip bahwa selama Muhammadiyah masih berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka selama itu pula dia akan mendukung dan membelanya. Hal ini pernah dipesankan kepada KH. Mas Mansur dalam kongeres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta pada tahun 1941 melalui putranya Hamka.[14]




[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), Cet. VII, hal. 45
[2] Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah Pengauhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minagkabau Pada Awal Abad Ke-20, terj. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence In The Islamic Reform Movemnet In Minangkabau In The Early Twentieth Century Oleh Theresia Slamet, (Jakarta: INIS Leiden, 2002), hal.20
[3] Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 22-25
[4] Ibid, hal. 22-23
[5] Ibid, hal. 25
[6] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR.H.Abd.Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Djajamurni, 1967), hal. 150-151
[7] Djamal, op.cit, hal. 30-31
[8] Djamal, op.cit, hal. 44-47
[9] Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), Cet. II, hal. 85-86
[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidakarya Agung, 1982), hal. 54
[11] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Di Dunia Islam Dan Indonesia,( Ciputat: PT Ciputat Press Group, 2005), hal. 237-248
[12] Yusuf dkk, op.cit, hal. 26
[13] Djamal, op.cit, hal. 89
[14] Yusuf dkk, op.cit, hal. 27-28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar