Posted: Siti Zaenab
22 Maret 2015
ABDUL
KARIM AMRULLAH
A. Biografi Abdul Karim Amrullah
Haji
Abdul Karim Amrullah, yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul.[1] Ia
lahir di daerah Sungai Batang Maninjau Minangkabau pada tanggal 10 Februari
1879. Meningggal di Jakarta, Sabtu tanggal 21 Jumadil Awal 1364H/2 Juni 1945. [2]Beliau
adalah putra dari Muhammad Amrullah, dan ibunya bernama Andung Tarawas. Dilihat
dari silsilah ini, Abdul Karim Amrullah masih keturunan ulama besar, sebab
Syaikh Muhammad Amrullah adalah ulama yang sangat berpengaruh di Minangkabau.
Gelar
yang disandangnya adalah Fakih Kisai karena kemampuannya dalam menghafal
Al-Qur’an. Beliau juga seorang syaikh tarekat Naqsyabandiyah, ahli tafsir,
fiqih, tasawuf dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Oleh karena kedudukannya yang tinggi
itu, maka dia mendapat gelar Syaikh Nan Tuo.
Abdul
Karim Amrullah sejak kecil diberi nama Muhammad Rasul, dan setelah menunaikan
ibadah haji namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah dan nama inilah yang
paling dikenal. Sebagai putra Syaikh Nan Tuo, kedatangan Abdul Karim Amrullah
disambut dengan kegembiraan oleh masyarakat setempat dan diberi gelar Syaikh
Nan Mudo sebagai penghargaan atas keberhasilannya menuntut ilmu di tanah suci.
Tidak berapa lama, mengingat telah memasuki usia dewasa lalu dinikahkan dengan
Raihanah binti Haji Zakaria. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang
putri bernama Fatimah.
Baru
beberapa lama tinggal di kampung halamannya, beliau diperintahkan oleh ayahnya
untuk mengantar adik-adiknya (Abdul Wahab, Muhammad Nur dan Muhammad Yusuf)
untuk belajar di kota suci Makkah Mukarromah. Dalam pertemuan ini Abdul Karim
Amrullah disarankan untuk mengajarkan ilmu pengetahuannya dan jadilah beliau
sebagai guru muda di kota Makkah. Dikota ini, istrinya meninggal dunia, dan
setelah sekitar 5 tahun tinggal di kota suci ini beliau pulang ke tanah air.
Sesampainya di tanah air, beliau menikah lagi dengan seorang gadis bernama
Hindun. Dengan istri yang kedua ini beliau mendapat beberapa putra dan beberapa
diantara mereka itu meninggal dunia.
Hanya
putra yang bungsu bernama Abdul Wahablah yang masih hidup, dan istri yang kedua
ini pun meninggal dunia. Untuk mengasuh putranya itu, beliau menikah yang
ketiga kali dengan Syafiyah, yakni adik istri yang pertama. Dari pernikahan ini
beliau dianugerahi 4 orang anak yakni, Abdul Malik (Hamka), Abdul Kudus, Asma,
dan Abdul Mu’ti. Dari istrinya yang bernama Rafi’ah binti Sutan Palembang,
beliau dikaruniai putra-putri Abdul Bari, Dariyah, Salimah, Dalimah, Upik
Japang, Saerah, Gadis, Latifah dan Fatimah. Sejak kepulangannya yang kedua dari
Makkah, beliau menetap di kampung halamannya, sungai Batang Maninjau. Di tanah
kelahirannya inilah beliau mengajarkan ilmu pengetahuan Islam dengan nuansa
baru kepada masyarakat. Dengan kemasyhurannya sebagai seorang pemuda cerdas
ditambah sebagai putra dari Syaikh Nan Tuo, beliau sangat dicintai masyarakat
dan murid-muridnya datang dari berbagai daerah. Di antara murid-muridnya inilah
nanti yang akan meneruskan dan mengembangkan ajaran dan ilmu pengetahuan lebih
lanjut. Mereka itu antara lain : Abdul Hamid Hakim, Zainuddin Labai
El-Yunusi, Haji Abbas Datuk Tunaro, H. Yusuf Amrullah, A.R. Sutan Mansyur, Haji
Jalaluddin Thalib, Haji Mukhtar Luthfi, Hasim El Husni Adam Balai-Balai, Rahmah
El-Yunusiyah, Rasuna Said, Hamka, dan lain-lain. Oleh karena dalam
pembelajarannya itu membawa nuansa baru dan didukung oleh kalangan muda, maka
beliau mendapat julukan Kaum Muda.
Di
samping itu, perjuangan Abdul Karim Amrullah juga mendapat dukungan dari
beberapa sahabatnya sesama kaum muda antara lain : Haji Abdul Ahmad,
Syaikh Jamil Jambek, Syaikh Muhammad Thaib Umar, Syaikh Daud Rasyid, Syaikh
Ibrahim Bin Musa Parabek, Syaikh Abbas Abdullah, Syaikh Mustofa, Haji
Abdullatif, dan lain-lain. Namun demikian, ide pembaharuannya juga mendapat
tantangan dari ulama-ulama lain terutama ulama tua yang kemudian disebut
sebagai Kaum Tua. Mereka itu antara lain : Syaikh Saad Mungka,
Syaikh Khatib, Sulaiman Ar-Rasuli, Syaikh M. Zain Simabur, dan Syaikh H. Jamil
Joho.[3]
B. Pendidikan
Abdul Karim Amrullah
Sebagai
seorang keturunan ulama besar, beliau hidup pada iklim pendidikan
keagamaan.Pada usia 10 tahun, beliau belajar Al-Qur’an kepada Tuanku Haji Hud
dan Tuanku Faqih Samnun di Sibalantai. Setahun kemudian, dia pulang dan belajar
menulis huruf Arab kepada Adam, anak Tuanku Said. Kemudian pada usia 13 tahun,
beliau belajar ilmu nahwu, sharaf kepada ayahnya sendiri. Setahun kemudian,
yakni pada usia 14 tahun dia diantarkan ke Sungai Rotan Pariaman untuk belajar
kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Di sini dia memperdalam Kitab Minhajut
Thalibin dan Tafsir Jalalain.
Untuk
lebih memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam, oleh ayahnya dia dikirim ke
kota suci Mekkah Mukaromah di usia yang 16 tahun. Dia belajar di Mekkah selama
7 tahun kepada Syaikh Ahmad Khatib dan ulama-ulama terkenal lain, seperti
Syaikh Thair Jalaluddin, Syaikh Abdullah Jamidin, Syaikh Usman Serawaaak,
Syaikh Umar Bajened, Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Hamid Jeddah, Syaikh Sa’id
Yaman, dan Syaikh Yusuf Nabhani. Setelah dirasa cukup mendapatkan ilmu-ilmu
pengetahuan Islam dari berbagai bidang dan dari berbagai ulama besar itu,
beliau pulang ke tanah air bersama teman-temannya pada tahun 1901 setelah
diberi ijazah oleh gurunya, yakni Syaikh Ahmad Khatib. Saat itu beliau telah
memasuki usia dewasa, yakni 23 tahun.[4]
C. Karya-karya Abdul Karim Amrullah
Karya-karya
Abdul Karim Amrullah bisa dilihat dari buku-buku dan tulisan-tulisannya yang
pernah ditulisnya. Beliau juga berperan dalam penerbitan terutama penerbitan
majalah Al-Imam yang terbit tahun 1906 di bawah pimpinan Muhammad Kalah dan
Majalah Al-Munir yang dipimpin oleh Haji Abdullah Ahmad (terbit 1911). Di
majalah Al-Imam, Abdul Karim Amrullah duduk sebagai wakil untuk wilayah Negeri
Danau Sumatra dan di majalah Al-Munir beliau duduk sebagai penanggung jawab
rubrik agama Islam. Kesibukan beliau juga masih ditambah dengan perannya sebagai
perintis penerbitan majalah Al-Ittafaq dan Almanak Lima Guna sebagai majalah
PGAI. Dalam penerbitan buku ditunjukkannya bahwa beliau adalah seorang
pengarang yang produktif pada saat itu, yang menurut cerita telah terbit 27
judul buku yang merupakan hasil karya beliau. Buku pertama kali yang
diterbitkannya pada tahun 1908 berjudul ‘Amdatul
Anam Fi Ilmil Kalam yang membahas 20 sifat Allah, lalu di susul buku-buku
lain, yakni Qatthi’u Riqabil Mulhidin (1910) berisi bantahan terhadap tarikat
Naqsabandiyah, Syamsul Hidayat (1912) berisi syair-syair nasihat dan tasawuf,
Sullamul Ushul (1914) berisi tentang ushul fiqh, Aiqazum Niam (1916) berisi
pernyataan bahwa berdiri pada upacara maulid adalah Bid’ah, Alfawaidul ‘Aliyah
(1916) berisi uraian bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, Mursidit Tujar
(1916) berisi syair pedoman orang berniaga, pertimbangan adat Minangkabau
(1918), Dienullah (1918), Pembuka Mata (1919), Al-Ifsah (1919) berisi uraian
tentang nikah, Sendi Aman Tiang Selamat terdiri dari 2 jilid (1922), Al-Burhan
(1922) berupa Tafsir Juzz ‘Amma, Kitabur Rahmah (1922) berisi uraian puasa
menurut empat madzhab, Al-Qaulush Sahih (1923) berisi bantahan terhadap
Ahmadiyah. Buku-buku tersebut ditulis sebelum beliau pergi ke Mesir. Setelah
beliau datang dari Mesir, lalu menulis buku lagi yakni Cermin Terus (1928)
berisi tidak setujuannya wanita berpidato di depan umum, Annida (1929) berisi
uraian tentang wajibnya shalat berjamaah, Pelita terdiri 2 jilid (1930-1931),
Pedoman Guru (1930), Al-Faraid (1932), Al-Bashair (1938), Al-Misbah (1938)
Asy-Syi’ah (1938) berisi tentang qunut subuh, Al-Kawakibud Durriyah (1940)
berisi bantahan terhadap pendapat bahwa khutbah dengan bahasa indonesia haram
hukumnya, Hanya Allah (1943) berisi bantahan terhadap kepercayaan bangsa
Jepang, Al-Ihsan serta membantah Islam dan Kebangsaan.[5]
D. Pemikiran Abdul Karim Amrullah
1.
Tauhid
Gagasannya
tentang Tauhid bisa dilihat dari peristiwa Seikerei. Salah satu
kepercayaan orang Jepang adalah Tenno Heika yang merupakan Tuhan Yang Maha
Kuasa yang harus disembah oleh bangsa Jepang dan semua bangsa yang mereka
jajah, terutama di Asia Timur sebelum Perang Dunia II. Penyembahan Tenno Heika
pada waktu itu dikenal dengan Seikerei, atau membungkuk ke arah istana
kekaisaran Tenno Heika, sebelah timur Pulau Jawa. Pada awal 1943, Abdul Karim
Amrullah, bertindak sebagai salah seorang pemimpin rapat, bersama dengan 59
pemimpin agama lainnya di Pulau Jawa. Rapat ini dilangsungkan di Bandung dan ia
adalah satu-satunya orang Indonesia yang duduk di atas panggung. Selama Seikerei
ia adalah satu-satunya orang yang tetap duduk. Hal ini dianggap sebagai
tantangan terbuka terhadap Jepang. Hamka menceritakannya sebagai berikut:
Semuanya,
benar-benar semuanya berdiri. Seorang meneriakkan perintah, Seikerei.
Semuanya menundukkan kepala ke arah Istana. Semua orang Muslim yang baik,
berpakaian sorban dan jubah....semuanya memberi hormat. Hanya satu pria
bertubuh kecil, yang sorotan matanya penuh keyakinan agama dan dengan hati
baja... dia satu-satunya yang tetap duduk, dan tidak ambil bagian dalam
upacara... orang itu ialah Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Ia melakukan hal itu
walaupun dikelilingi orang Jepang, yang masing-masing mengenakan pedang
panjang.[6]
Beberapa
menit setelah upacara Seikerei usai, ia mengatakan: “Menganut dan
memelihara suatu kepercayaan tidak
selamnya mengundang bahaya, selama kita beribadah kepada Tuhan. Jangan hanya
memikirkan bahaya dari apa yang telah anda lakukan atau apa yang akan anda
lakukan, tetapi juga harus memikirkan manfaat yang akan dipetik dari kelakuan
anda. Apakah anda tidak mengamati apa yang baru saja aku lakukan? Walaupun aku
tetap duduk pada acara Seikerei,
tidak berarti aku melawan pemerintah tentara Jepang, tetapi karena aku menaati
perintah Tuhanku. Allah melarangku untuk melakukan ruku’ terhadap sipapun
kecuali terhadap Dia. Seperti yang anda lihat sekarang, Tuan Kolonel Horie
(Kepala Departemen Urusan Agama pada pendudukan tentara Jepang di Indonesia)
tidak mengecewakanku. Karena aku telah memegang teguh perintah agamaku, sama
seperti dirinya yang menunjukkan kesetiaan terhadap agamanya.”
Peristiwa
di atas menunjukkan betapa
kuat keyakinan agama Abdul Karim Amrullah. Ia menunjukkan sikap keislaman yang
benar, serta kepercayaannya yang kuat akan Yang Maha Esa, menantang “kekaisaran
para penyembah dewa”. Bagi dia, Tuhan adalah yang tunggal, yang kepada-Nya lah
manusia harus menyerahkan seluruh hidupnya, tidak kepada raja, presiden, atau
kaisar dari segala kaisar. Sejak kejadian di atas, Jepang terpaksa menyerah
pada pendapatnya agar tidak menghancurkan jerih payah yang telah dicapai para
pemimpin Muslim. Kaum muslim akhirnya berhak untuk tidak melakukan Seikerei sebelum memulai pertemuan-permuan
agama.[7]
2.
Hukum
Waris Adat
Haji Abdul
Karim Amrullah menegaskan bahwa hukum waris Islam (al-fara’id) harus
dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau dan bukannya hukum waris adat berasal dari
leluhur Minangkabau yang menganut ajaran Budha. Bagi dia tidak ada tawar
menawar dan kompromi dalam menerapakan hukum Islam, hukum Islam tidak dapat
dicampur dengan ajaran-ajaran atau doktrin lain. Praktek-praktek Islam, katanya
harus dibersihkan dari segala jenis penyimpangan. Ia menegaskan bahwa hukum
waris berdasarkan garis ibu, yang dipraktekkan oleh Muslim Minangkabau tidak
adil, karena, ayah, ibu dan anak-anak yang berhubungan erat selama hidup baik
fisik maupun spiritual, tidak mewariskan apapun bila salah seorang diantaranya
meninggal. Sebaliknya keponakan, yang pertalian darah jauh lebih renggang dan tidak begitu menderita dibandingkan
anak-anak atau orang tua yang wafat, ditetapkan dalam hukum waris adat sebagai
pewaris tunggal yang sah dari harta paman mereka. Karena itu peraturan tidak
sah ini harus dibuang.
Kemudian dia
mengimbau para raja, pejabat pemerintah dan penghulu agar berusaha keras
membuang tradisi-tradisi Jahiliyah sampai semuanya hilang dari kehidupan
masyarakat Minangkabau. Peringatan-peringatan sama juga ditujukan kepada para
hakim yang mengadili semua perkara antar anggota suku, untuk memperkuat dan
menerapkan hukum Islam jika ingin menemukan jawaban yang baik dan adil bagi
masyarakatnya. Tanpa adanya kerja sama untuk mengubah dan menghapus
peraturan-peraturan adat yang salah (hukum waris), maka kedamaian yang dicari
orang Minangkabau tidak akan pernah tercapai.
Disini kita
melihat bagaimana Haji Abdul Karim Amrullah menyelesaikan masalah peka, yang
belum pernah dijelaskan oleh pemimpin-pemimpin agama lain didaerah itu sebelum
dia. Dia tidak mau begitu saja mengikuti ajaran gurunya, Syekh Ahmad Khatib,
tetapi mencoba menggunakan nalarnya sendiri dan mengeluarkan ijtihad
sendiri sehingga bias diterapkan didaerah sesuai dengan keadaan masarakat.[8]
3.
Pemikiran tentang Pendidikan.
Pemikiran
tentang Abdul Karim Amrullah tentang pendidikan, bisa dilihat dari
pembaharuannya di Sumatera Thawalib dari Padang Panjang pada mulanya merupakan Madrasah tradisional
di Minangkabau bernama Surau Jembatan Besi.
Pada
tahun 1906, Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul, pulang
dari Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar dan mengaji di suraunya di
Maninjau, kampungnya sendiri. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau,
berguru kepada Haji Rasul. Selama hampir dua tahun ia bolak-balik antara Padang
Panjang-Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan
pimpinan surau Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya, Abdul Latif Rasidi,
sampai akhir hayatnya. Sementara itu Haji Rasul sendiri diminta Abdullah Ahmad
untuk membantu memajukan pengajian Surau Jembatan Besi dengan cara
berulang-ulang ke Padang Panjang dari Maninjau. Walaupun kesibukannya di
Maninjau cukup padat, karena di samping mengajar mengaji, dia juga sudah mulai
menghadapi kekuasaaan kaum adat, namun permintaan rekannya di atas dipenuhinya
juga. Dan tidak berapa lama berulang antara Maninjau-Padang Panjang, maka Haji
Rasul diminta beliau pula untuk pindah ke Padang, ke kota yang lebih ramai.
Permintaan inipun dipenuhi Haji Rasul, dan pindahlah ia ke Padang mengajar dan
bersama-sama Abdullah Ahmad pengasuh majalah Al-Munir.
Sementara
itu, tugas bolak-balik ke Padang Panjang tetap dilakukannya, tetapi sekarang
bukan dari Maninjau ke Padang Panjang lagi, melainkan antara Padang dan Pandang
Panjang. Bersama-sama dengan Abdul Latif Rasyidi, pengajian Surau Jembatan Besi
semakin ditingkatkannya. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh umat
Islam Padang Panjang sepakat untuk menunjuk Abdul Karim Amrullah dan memimpin
Surau Jembatan Besi. Ia menetap di Padang Panjang, sekaligus menjadi pemimpin
tunggal Surau Jembatan Besi. Setelah Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan
memimpin Surau Jembatan Besi, bertambah ramailah anak-anak yang datang dari
seluruh Sumatra Barat mengaji ke surau ini. Dalam beberapa tahun saja setelah
itu, Surau Jembatan Besi sudah menjadi pusat pengajian besar. Nama Haji Rasul
semakin harum dan semakin tersebar luas, baik sekitar wilayah Minangkabau,
maupun di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi pusat jala pumpunan
ikan bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Sistem
pendidikannya masih tidak berubah, tetapi isi pengajiannya sudah dikembangkan.
Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi,
berpikir bebas, membaca, memahami dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab
mulai dibaca dan didiskusikan. Anak sasian boleh bertanya dan mendebat.[9]
Perubahan pendidikan yang dilakukan Abdul Karim
Amrullah adalah sebagai berikut:
a.
Kurikulum
Padang
awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional. Kurikulum
pendidikan masih tradisional, yang berkisar pada al-Qur;an dan pengajian kitab,
yang meliputi Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir, dan lainnya, yang hanya terpaku pada
satu kitab saja.
Kurikulum
pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, sehingga tergerak hati Abdul Karim Amrullah dan
kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan
Islam. Ilmu-ilmu yang masuk kurikulum pendidikannya lebih dikembangkan dan
kitab-kitab yang digunakan juga tidak terpaku pada kitab saja. Ilmu-ilmu agama
dan bahasa yang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam mencapai dua
belas mata pelajaran dan dengan menggunakan berbagai macam kitab. Mata
pelajaran tersebut adalah:
Ilmu
Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, Ilmu Tauhid, Ilmu Hadis, Ilmu
Musthalah Hadis, Ilmu Matiq (logika), Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, Ilmu Badi’, Ilmu
Ushul Fiqih.[10]
Abdul
Karim Amrullah menyusun kurikulum pendidikan Islam berdasarkan tingkat atau
kelas. Sebab beliau
telah menerapkan sistem klasikal dalam lembaga pendidikan Islam. Berbeda dengan
keadaan sebelumnya. Pendidikan yang diberikan di
lembaga pendidikan Islam tidak
dibedakan kelasnya antara yang sudah tinggi pelajarannya dengan yang masih
permulaan. Kondisi ini menurut Haji Rasul tidak efektif. Sebab itu, beliau
membagi murid-murid dalam kelas-kelas tertentu, sesuai dengan tingkat pendidikannya. Susunan kurikulum pendidikan
Islam yang diterapkan saat itu adalah:
1)
Pengajian al-Qur’an
2)
Pengkajian Kitab, yang terdiri atas beberapa tingkat
yaitu:
a)
Mengkaji Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab-kitab: Arjumiah, Matan Bina,
Fathul Qarib dan sebagainya.
b)
Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih dengan memakai kitab-kitab: Sanusi, Syeikh Khalid,
Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya.
c)
Mengkaji Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Tafsir dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab:
Kifayatul Awam, Ibnu Aqil, Mahali, Jalalain/Baidlawi dan lain-lain.
Jika diperhatikan kurikulum pendidikan Islam yang
diterapkan Haji Rasul di atas, ternyata sesuai dengan kemampuan dan perkembangan murid. Meskipun ilmu yang
diajarkan sama, namun pada tingkat yang lebih tinggi dipergunakan pula kitab-kitab
yang lebih sulit dan lebih tinggi, yang membutuhkan penelaahan lebih mendalam.
Bahkan pada tingkat tinggi, diajarkan pula Ilmu Mantiq, Ilmu Balaghah, Ilmu
Tasawuf dan sebagainya dengan memakai kitab-kitab seperti: Idhatul Mubham,
Jauhar Maknun/Talknish, Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
Disamping
itu, Haji Rasul juga memakai kitab rujukan yang ditulisnya sendiri dan juga
ditulis oleh Zainuddin Labay El-Yunusi, yang merupakan guru bantu ketika masih
mengajar di Surau Jembatan Besi. Dengan demikian, sekalipun kurikulum
pendidikannya masih murni ilmu-ilmu agama Islam, namun ilmu-ilmu keislaman yang
dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikannya telah berkembang, serta kitab-kitab
yang dijadikan rujukan juga telah diperbaharui.
b.
Sistem dan Metode Pembelajaran
Disamping memperbarui kurikulum pendidikan Islam yang
dipandang sudah ketinggalan zaman, Abdul Karim Amrullah juga memperbaiki sistem
dan metode pembelajaran yang digunakan. Pembaharuan terpenting dalam bidang
sistem dan metode pembelajaran yang dibawa oleh Haji Rasul adalah mengembangkan sistem klasikal dan menggunkan metode diskusi
dan tanya jawab. Kepada murid-murid ditanamkan semangat berdiskusi, berpikir
bebas, membawa, memahami, berkelompok dan berorganisasi. Murid-murid dirangsang untuk
bertanya dan berdebat dengan guru.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembelajaran yang berkembanga dalam sistem pendidikan Islam saat itu adalah
sistem halaqah. Dengan sistem halaqah ini, murid-murid dan guru duduk
bersama-sam duduk di lantai membentuk lingkaran. Kemudian guru membacakan kitab
dan menerangkan isinya, sementara murid-murid mendengarkan, memahami dan
menghafal keterangan yang diberikan oleh guru.
Metode menghafal merupakan
ciri umum dalam sistem pendidikan Islam pada masa itu. Metode ini mengutamakan
agar murid dapat menghafal suatu pelajaran (verbolisme). Murid disuruh membawa
berulang-ulang pada yang disampaikan
oleh guru, sehingga pelajaran tersebut benar-benar melekat di kepala, walaupun
tidak begitu dipahami.
Metode hafalan
yang digunakan dalam sistem pendidikan Islam tradisonal (sistem surau), tidak
mendorong siswa untuk aktif. Murid hanya pasif menerima materi pelajaran yang
disampaikan guru dan kemudian menghafalnya. Murid tidak boleh bertanya, apalagi
membantah pendapat guru, sekalipun keterangan guru itu diyakini salah. Bertanya
atau berdebat dengan guru dipandang menentang atau melawan pada guru.
Metode pembelajaran
seperti ini menurut Haji Rasul tidak dapat membawa pada kemajuan murid. Dengan
metode demikian, murid akan berpikir sempit, sehingga tidak dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang terus berkembang. Ilmu
hanya sekedar dihafal, tetapi kurang dipahami, sehingga ilmu tidak dapat
memecahkan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu,
Haji Rasul berusaha memperbaharui metode pembelajaran yang dapat merangsang
murid untuk berpikir bebas, berdiskusi, berdialog, berdebat dan berorganisasi.
Murid tidak hanya dituntut untuk menghafal ilmu yang diberikan, melainkan juga
harus memahami, mengabstraksi, mengkontekstualisasikan dan mentransformasikan
lebih jauh. Ini menunjukkan bahwa Haji Rasul mulai mengembangkan semangat
ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya.
Dengan semangat
baru dan etos ilmiah yang dikembangkan Haji Rasul ini, maka menurut beliau
sistem pembelajaran berhalaqah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Untuk itu pada tahun 1918 Haji Rasul menyelenggarakan pendidikan berkelas di
Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya. Murid-murid dibagi menjadi tujuh kelas
menurut umur dan tingkatan pendidikannya. Pada tingkat permulaan, murid-murid
diajar oleh guru-guru bantu (asisten). Diantara asistennya yang terkenal adalah
Zainudin Labay El-Yunusi. Kitab-kitab yang diajarkan terbatas pada kitab-kitab
yang dikarang oleh Zainuddin Labay El-Yunusi sendiri atau oleh guru-guru lain.
Pada tingkatan tertinggi baru diajarkan kitab-kitab yang berasal dari Mesir di
bawah asuhan Haji Rasul, sebagai guru besar.
Pada mulanya
kelas yang akan ditetapkan hanya tiga kelas, yaitu kelas I, II, III, akan
tetapi setelah dicoba melaksanakannya, ternyata kelas I harus dipecah menjadi
empat tingkat, yaitu 1A, 1B, 1C, dan 1D. Sementara itu, kelas II harus dibagi
menjadi dua kelas, yaitu 2A dan 2B, kelas III dapat dipertajam menjadi satu
kelas. Kemudian kelas
1A, 1B, 1C dan 1D, menjelma menjadi kelas 1,2,3, dan kelas kelas 4. Sedangkan
kepada kelas 2A dan 2B menjelma menjadi kelas 5 dan 6. Seterusnya kelas 3
menjadi kelas 7.
Sistem dan metode pembelajaran baru dilaksanakan oleh
Haji Rasul di lembaga pendidikan Islam yang bernama Perguruan Thawalib Padang
Panjang, ternyata dapat membangkitkan motivasi yang kuat dari para muridnya
untuk mencapai kemajuan. Dengan metode diskusi, tanya jawab dan berdebat yang
dikembangkannya, timbul dari diri murid semangat untuk menggali ilmu sendiri.
Murid-murid
menjadi lebih kreatif, berpikir bebas dan berani mengemukakan pendapat. Dalam
diri murid tertanam jiwa patriotik, sehingga tidak heran kalau akhirnya banyak
dari murid dan guru Thawalib yang terjun ke lapangan politik, menentang
penjajahan belanda.
c.
Organisasi Siswa
Haji
Rasul memikirkan pula bagaimana supaya murid-murid terhimpun dalam organisasi.
Beliau melihat bahwa organisasi itu adalah penting. Tanpa adanya organisasi
yang rapi, penjajah mustahil dapat diusir. Semangat berorganisasi ini mulai
muncul dari diri Haji Rasul ketika beliau menyaksikan organisasi Muhammadiyah di
Yogyakarta. Oleh sebab itu, beliau menganjurkan kepada murid-muridnya untuk
membentuk sebuah organisasi.
Ketika Bagindo
Jamaluddin Rasyad memberikan ceramah umum tahun 1915 di padang Panjang, Haji
Rasul menganjurkan kepada murid-muridnya untuk menghadiri dan mendengarkan
ceramah umum tersebut. Sebab ceramah yang akan diberikan oleh Rasyad adalah
berkaitan dengan pengalamannya ketika mengunjungi Eropa dan melihat kemajuan
yag dicapai di sana. Dalam ceramahnya itu, Rasyad menjelaskan bahwa kemajuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan serta pentingnya berorganisasi. Menurutnya,
Eropa telah mempunyai kesadaran yang tinggi dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi,
segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya, usaha yang bersifat
perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan kegagalan.
Setelah mendengar ceramah yang disampaikan oleh Rasyad tersebut, timbullah
keinginan dari murid-murid Haji Rasul untuk membentuk sebuah organisasi. Untuk
itu, disepakatilah membentuk sebuah organisassii murid-murid dengan nama
Persaiyoan. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memudahkan murid
dalam mendapatkan kebutuhan harian mereka dengan harga yang murah dan dengan
pembayaran yang longgar. Sejak itulah berdiri sebuah organisasi yang bergerak
dalam bidang sosial ekonomi. Organisasi ini membentuk suatu badan yang
menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para murid sehari-hari, seperti sabun
mandi dan sabun cuci. Kemudian juga disediakan buku tulis, pensil, sehingga
akhirnya Persaiyoan populer dengan sebutan “Perkumpulan Sabun.”
Setelah
perkumpulan ini berjalan, salah seorang murid Haji Rasul, yaitu Hasyim berusaha
mengembangkannya. Atas usahanya, semua keperluan murid dilengkapi. usaha
ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, mencuci, setrika
dan keperluan harian lainnya. Menurut Datuk Palimo Kayi, tahun 1918,
perkumpulan sabun tersebut kemudian berubah menjadi Thuwali. Yang kemudian
menjadi nama sebuah perguruan termasyhur, karena murid-murid Haji Rasul Surau
Jembatan Besi umumnya berasal dari luar Padang Panjang, bahkan banyak pula yang
daerah lain di pulau Sumatera, maka Zainuddin Labay El-Yunusi menambah nama
Thuwalib dengan kata Sumatera, sehingga menjadi Sumatera Thuwalib. Demikian
juga dengan pengajian di Surau Jembatan Besi disesuaikan namanya dengan
Sumatera Thuwalib dan ditempatkan di bawah pengawasan satu pengurus sekolah
yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan Surau Jembatan Besi, guru-guru
muda dan pedagang-pedagang di sekitar Padang Panjang.
d.
Kitab Pegangan Guru dan Murid (Rujukan)
Pembaharuan
dalam kurikulum membawa perubahan dalam kitab rujukan. Pada tahun 1920 beliau melakukan
pembaharuan dalam kitab-kitab rujukan di Perguruan Sumatera Thawalib Padang
Panjang. Haji Rasul mulai menukar kitab-kitab yang dipakai selama ini dengan
kitab-kitab baru, terutama bagi murid-murid kelas 7. Dikelas 7 ini kitab
Bidayatul Al-Mujtahid karangan Ibnu Rusd mulai diajarkan, demikian juga
kitab-kitab yang lain, seperti Ushul Al-Ma’mul, Al-Muhazzab dan sebagainya.
Menurut Taufik
Abdullah, pemakaian kitab-kitab baru ini sudah, mulai dilaksankan pada
pertengahan tahun 1920. Murid-muid kelas rendah, disamping masih mempelajari
kitab-kitab lama, juga harus dilengkapinya dengan buku- buku baru karangan
guru-guru mereka sendiri, yaitu karangan Haji Rasul dan kawan-kawannya.
Murid-murid kelas 6 dan 7, mempelajari buku-buku karangan para ulama dan
filosof Islam seperti: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan sebagainya. Untuk
pelajarannya Tafsir, dipakai kitab Tafsir karangan Muhammad Abduh, Al-Manar
yang didatangkan dari Mesir. Mulai saat itu, Perguruan Thawalib Padang Panjang
dianggap sudah menampilkan dirinya menjadi sekolah agama Islam modern.
Pemakaian
kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran baru yang hendak
dituju oleh Haji Rasul melalui Perguruan Thawalib yang dipimpinnya, yaitu
pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan melakukan ijtihad,
seterusnya membuka diri untuk menerima perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Menurut Muhammad
Yunus, suatu perubahan besar dilakukan Haji Rasul dalam bidang penyediaan
sarana dan prasarana belajar adalah mengganti kitab Dhammun dan Al-’Awamiul
yang ditulis tangan dengan kitab-kitab yang sudah dicetak.
Dengan demikian,
dalam proses pembelajaran Haji Rasul tidak lagi menggunakan yang banyak
digunakan dalam sistem tradisional melainkan semua kitab yang dipelajari sudah
dicetak. Pada mulanya kitab-kitab yang dicetak itu dibeli dari orang-orang yang
kembali dari Mekkah dan Singapura. Akan tetapi, kemudian karena pemakaiannya
mulai berkembang, maka toko buku kepunyaan Syeikh Ahmad Khalidi di Bukittinggi
memesan langsung kitab-kitab agama tersebut ke Mesir. Kemudian diikuti oleh toko-toko
buku lainnya. Sejak itu banyaklah beredar kitab-kitab agama yang datang dari
Mesir, demikian juga dengan majalah-majalah yang membawa aliran baru seperti
Al-Manar.
Diantara
kitab-kitab yang dipakai oleh Haji Rasul adalah: Darul Fiqiah, Fiqhul Iwadih,
Mu’inul Mubin/Al-Muhazzab, Bidayatul Mujtahid, Mabadi Al-Arabiyah, Durusun
Nahwiyah, Qawaidul Lughah Al-Arabiyah, Bahwu Wadih, Balaghah Wadhi/Jawahirul
Balaghah, Durusun Lugah Al-Arabiyah, Mutalaah Hadisah, Qiraatur Rasyidah,
Nuhadasah Arabiyah, Durusut Tauhid/Jwahir Kalamiyah, Husnul Hamidiyah,
Reisaltut Taudhi, Khazin, Tafsir Muhammad Abduh, Hadis Arbain/Jawahirul
Bukhari, Muhalah Hadis, Mantiqul Hadis, Muzakhirat Ushul Fiqih/As-Sullam,
Albayan/Husulul Nakmul.
Memperhatikan
kitab-kitab yang dipergunakan oleh Haji Rasul dalam mengajarkan kurikulum
ilmu-ilmu agama kepada muridnya, jelaslah bahwa beliau telah berusaha
memberikan ilmu yang dalam dan wawasan yang luas kepada muridnya. Dengan
kurikulum dan kitab-kitab yang digunakan, terlihat betapa Haji Rasul berusaha
menyebarkan paham-paham baru dalam bidang pendidikan Islam. Pemakaian
kitab-kitab klasik dan modern ini memperlihatkan sasaran yang hendak dituju
oleh Haji Rasul, yaitu pengembangan intelektual dengan memberikan kesempatan
melakukan ijtihad serta membuka diri untuk menerima pemikiran baru dan
perubahan sesuai dengan kemajuan zaman.
Disamping itu,
Haji Rasul juga memakai kitab-kitab karangannya sendiri dan karangan
asistennya. Kitab-kitab karangan beliau dan asistennya ini terutama dipakai untuk
kelas permulaan. Di antara asistennya yang mengarang kitab adalah:
a. Zainuddin Labay El-Yunusi, mengarang
kitab Durusul Fiqiah untuk menggantikan kitab Fathul Qarib, Kitab Mabadik
Arabiah, dan lain-lain.
b. Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, mengarang
kitab: Mui’n Al-Mubin, As-Sullam, Al-Bayan, Tahzibul Akhlaq, dan lain-lain.
c. Abdurrahim Al-Manafi, mengarang kitab: Mabadi‘
Ilmu Nahu, Mabadi‘ Ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubabul Fiqih, Al-Huda, Asasul Adab
dan lain-lain.
Demikianlah
beberapa pemikiran dalam sistem pendidikan Islam yang dibawa oleh Syaikh Abdul
Karim Amrullah, yang lebih populer pada saat itu dengan sebutan “Inyik DR” atau
Haji Rasul. Dengan sistem pendidikan baru yang dikembangkannya. Telah
melahirkan suatu revolusi mental, kemerdekaan berpikir, wawasan yang luas, semangat
kreativitas dan sebagainya dari murid-muridnya, sehingga pada gilirannya
terdorong untuk melawan penjajahan Belanda. [11]
E.
Haji Abdul
Karim Amrullah dan Muhammadiyah
Hubungan
Abdul Karim Amrullah dengan Muhammadiyah sampai tahun 1916 belum terjadi
hubungan langsung, kecuali melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah
Al-Munir. Melalui tulusan-tulisan
inilah KH. Ahmad Dahlan mengenal beliau terutama ide-ide pembaharuannya sehingga Abdul
Karim Amrullah dikenal sebagai
kelompok muda. Hubungan keduanya sebagai tokoh pembaharu islam di Indonesia
berlangsung pada tahun 1971, yakni pada saat Abdul
Karim Amrullah mengadakan perlawatan
pertama kali ke Jawa. Pada kesempatan ini, beliau menyempatkan diri mampir ke
Yogyakarta untuk bertemu langsung dan berdiskusi dengan KH. Ahmad Dahlan serta
mengenal lebih dekat dengan pergerakan Muhammadiyah.
Pergerakan
Muhammadiyah ternyata sangat mengesankan pada beliau dan setelah pulang ke
kampung halamannya, beliau ceritakan segala pembaharuan Islam yang dilakukan
oleh KH. Ahmad Dahlan dan gerakan Muhammadiyah yang dipimpinnya. Dari
pendekatan beliau pada Muhammadiyah inilah lalu beliau mendapatkan inspirasi
untuk mendirikan perkumpulan “Thawalib” sebagai cikal bakal “Sumatra Thawalib”
pada tahun 1918. Maka dapat dicatat bahwa sampai tahun tersebut di Sumatra
belum ada Muhammadiyah.[12]
Kemudian
pada tahun 1925 Abdul Karim Amrullah melakukan pelawatannya yang kedua ke Jawa untuk dua
tujuan utama. Pertama, ia ingin bertemu anaknya Fatimah dan suaminya A. R.
Sutan Mansur di Pakalongan. Sutan Mansur
pada waktu itu adalah pemimpin Muhammadiyah di Pakalongan dan juga ketua Nurul Islam, organisasi
pedagang asal Minangkabau di pakalongan. Kedua, Haji Abdul Karim Amrullah ingin
mencari bantuan keuangan dari orang-orang Minangkabau, terutama pedagang
Maninjau, untuk mendirikan sekolah agama di Sungai Batang bernama Sendi Aman.[13]
Kunjungan
kali ini pun dimanfaatkan untuk mampir ke Yogyakarta sebagai basis gerakan
Muhammadiyah, tapi pada kunjungan yang kedua ini, beliau tidak dapat bertemu
dengan KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri
Muhammadiyah, karena KH. Ahmad Dahlan telah berpulang ke Rahmatullah. Saatu itu Abdul Malik
Amrullah diterima oleh KH. Fakhruddin yang saat itu menjabat sebagai wakil
ketua Hoefdbestuur (HB) Moehammadiyah. Pada kunjungan kali ini Abdul Malik
Amrullah telah bisa melihat hasil usaha-usaha Muhammadiyah yang berupa sekolah-sekolah,
panti-panti asuhan yatim piatu, rumah sakit, rumah miskin, tempat-tempat
ibadah, dan lainnya.
Dari
kunjungan yang kedua inilah, beliau mendapat kesan yang dalam tentang
perserikatan Muhammadiyah lalu merayakan kepada murid-muridnya untuk mendirikan
Muhammadiyah di Padang Panjang. Diketahui sebelumnya bahwa sejak 1912 beliau
telah pindah dari kampung halamannya di Sungai Batang Maninjau ke Padang
Panjang, dan pada tahun ini pulalah secara resmi berdiri perserikatan
Muhammadiyah pertama kali Sumatra Barat yang selama peresmiannya dilakukan di rumah
Abdul Karim Amrullah. Kemudian dari
cabang Padang Panjang inilah, Muhammadiyah dikembangkan ke seluruh wilayah Sumatrra
oleh para murid beliau.
Beliau memang ikut mebidani kelahiran Sumatra
Thawalib, tapi karena di dalam organisasi itu terdapat perbedaan pendapat, maka beliau cendrung
mendirikan cabang Muhammadiyah dan peran sertanya semakin besar pada
pengembangan perserikatan ini di Sumatra Barat. Apalagi setelah jelas
diketahuinya bahwa Muhammadiyah akan menegakkan paham salaf bukan menegakkan taqlid.
Perjuangan beliau itu didukung pula oleh salah seorang sahabatnya, yakni Syaikh
Jamil Jambek sebagai pelindung Muhammadiyah di wilayah Sumatra Barat. Disamping itu
hampir semua
anggota keluarganya menjadi aktivis Muhammadiyah seperti Yusuf Amrullah, adiknya
menjadi ketua Muhammadiyah di Maninjau, Hamka, anaknya menjadi konsul
Muhammadiyah di medan, A.R. Sutan Mansur, menantu dan muridnya menjadi konsul
Muhammadiyah di Minangkabau dan ketua PP Muhammadiyah 1950-1953.
Beliau selalu memasyarakatkan Muhammadiyah dalam
berbagai kesempatan dakwah keliling sumatra. Bahkan, ia sering terlibat
langsung dalam
konfrensi-konfrensi Muhammadiyah untuk mengangkat konsul-konsul, seperti dalam
pengangkatan konsul Muhammadiyah di Bengkulu, Medan, Aceh, Tapanuli dan Riau.
Selain
mengikuti konferensi-konfrensi Muhammadiyah di wilayah Sumatra, beliau juga
mengikuti kongeres Muhammadiyah ke-20 pada tahun 1930 di Bukit Tinggi Sumatra
Barat. Sebagai seorang tokoh, kehadirannya di dalam kongeres
ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan Muhammadiyah terutama di wilayah Sumatra.
Apalagi kongeres ini merupakan kongeres Muhammadiyah pertama kali yang
diselenggarakan di luar Jawa.
Dalam
kongeres ini terjadi perdebatan sengit antara beliau dengan beberapa tokoh muda
Muhammadiyah tentang wanita berpidato di depan umum, dan dari perdebatan inilah
lalu terbit buku Cermin Terus yang berisi ketidaksetujuannya tentang
wanita berpidato di depan umum.
Dari
kongers inilah, maka perserikatan Muhammadiyah semakin pesat perkembangannya
berdirilah cabang dan ranting Muhammadiyah di Sumatra terutama di Sumatra
Barat, sampai pada tahun 1939 jumlah cabang dan ranting Muhammadiyah yang
terbanyak diseluruh nusantara adalah Sumatra Barat.
Pada
kongeres Muhammadiyah ke-28 pada tahun 1939, beliau ikut menghadirinya dan
kehadiran kali ini merupakan keterlibatan langsung dan terakhir kali dalam
kongeres Muhammadiyah. Sebab setelah
itu, beliau tidak lagi menghadiri berbagai kongeres Muhammadiyah karena usia
dan kondisi politik kurang menguntungkan.
Satu
hal yang perlu diketahui bahwa meskipun beliau sangat tertarik dan mendukung
gerakan Muhammadiyah, tapi sampai akhir hayatnya tidak memiliki kartu
Muhammadiyah. Baginya, menjadi pendukung
Muhammadiyah tidak harus ditunjukkan dengan pemilikan kartu anggota. Beliau
berprinsip bahwa selama Muhammadiyah masih berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka selama itu pula dia akan
mendukung dan
membelanya. Hal ini pernah dipesankan kepada KH. Mas Mansur dalam kongeres
Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta pada tahun 1941 melalui putranya Hamka.[14]
[1] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,
1996), Cet. VII, hal. 45
[2] Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah Pengauhnya dalam
Gerakan Pembaharuan Islam di Minagkabau Pada Awal Abad Ke-20, terj. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence In The
Islamic Reform Movemnet In Minangkabau In The Early Twentieth Century Oleh
Theresia Slamet, (Jakarta: INIS Leiden, 2002), hal.20
[3] Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi
Muhammadiyah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 22-25
[4] Ibid, hal. 22-23
[5] Ibid, hal. 25
[6] Hamka, Ayahku:
Riwayat Hidup DR.H.Abd.Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera,
(Jakarta: Djajamurni, 1967), hal. 150-151
[9] Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra
Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), Cet. II, hal. 85-86
[10] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidakarya Agung, 1982),
hal. 54
[11] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Di Dunia
Islam Dan Indonesia,(
Ciputat: PT Ciputat Press Group, 2005), hal. 237-248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar